TNews, OPINI – Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru. Keputusan ini telah menciptakan kegaduhan dan menimbulkan reaksi beragam dari para pemangku kepentingan politik, serta mengundang perdebatan intens tentang norma hukum, moralitas, dan integritas dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memutuskan untuk memengaruhi syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Meskipun secara hukum keputusan ini mungkin memenuhi ketentuan perundang-undangan yang ada, dampaknya telah memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat politik, aktivis, dan partai politik.
Putusan ini tampaknya memberi peluang putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk diusung menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) akhirnya benar-benar terbuka. serta memberi celah bagi politik dinasti, dimana keluarga-keluarga politik dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan tanpa memperhatikan kualifikasi dan pengalaman kandidat. Selain itu, hal ini juga menggoyahkan keyakinan banyak pihak tentang keselamatan hukum dan konsistensi norma hukum.
Dalam putusan MK ini memunculkan keraguan tentang integritas sistem hukum Indonesia dan memperlihatkan betapa pentingnya diskusi tentang perubahan hukum yang dapat berdampak signifikan pada masa depan negara. Meskipun keputusan MK adalah hal yang sah secara hukum, penting untuk mengevaluasi implikasi politik, sosial, dan moralnya, serta mempertanyakan apakah hal ini akan memimpin Indonesia ke arah yang lebih baik atau justru merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Hukum yang Tidak Adil
Hukum adalah pilar utama dalam sebuah masyarakat yang beradab. Fungsi utama hukum adalah memastikan bahwa hak-hak individu dihormati dan dilindungi, serta membangun fondasi yang adil untuk semua warganya. Hukum adalah instrumen yang seharusnya menjamin keadilan, keamanan, dan keberlangsungan negara. Namun, ketika hukum itu sendiri menjadi sumber ketidakadilan, apa yang terjadi?
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tampaknya menghadirkan dilema krusial ini. Keputusan ini menciptakan sebuah norma hukum yang baru, yang sebelumnya tidak pernah diantisipasi atau dipertimbangkan secara mendalam. Sementara hukum harus selalu berkembang untuk menjawab tuntutan zaman, haruslah dalam kerangka keadilan dan prinsip-prinsip demokrasi yang kokoh. Pernyataan St. Thomas Aquinas, seorang tokoh filsafat dan teolog abad pertengahan yang sangat dihormati, dengan tegas menyatakan, “Hukum yang tidak adil bukanlah hukum, tetapi kesewenang-wenangan.” Ini adalah panggilan moral yang sangat relevan dalam konteks putusan MK ini. Meskipun secara sah, kita harus tetap menilai apakah hukum tersebut adil, sesuai dengan nilai-nilai masyarakat, dan sesuai dengan semangat demokrasi.
Putusan MK ini telah mengecewakan banyak orang dan mengguncang keyakinan mereka dalam integritas lembaga hukum. Kita harus selalu menantang keputusan yang memunculkan keraguan moral tentang hukum itu sendiri. Kita harus mendiskusikan dan merenungkan implikasi jangka panjangnya terhadap negara dan masyarakat, dan kita harus bergerak menuju perubahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang kita pegang teguh. Kita berhak menuntut hukum yang tidak hanya sah secara teknis tetapi juga adil, dan kita harus selalu waspada terhadap potensi ketidakadilan yang mungkin muncul dalam norma hukum yang baru.
Politik Dinasti: Mengejar Kekuasaan Tanpa Batas
Selama beberapa tahun terakhir, politik dinasti menjadi semakin nyata di Indonesia. Kekuasaan tampaknya menjadi hak milik beberapa keluarga politik yang terus-menerus mendominasi panggung politik. Putusan MK ini, yang mengizinkan kandidat berusia di bawah 40 tahun untuk maju dalam pemilihan presiden, membuka putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi ahli waris politik. Terlepas dari argumentasi hukum yang mendasari putusan ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk mengamati implikasi politik yang mungkin timbul akibatnya.
Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia ingin diatur oleh keluarga-keluarga politik? Apakah ini adalah visi demokrasi yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini? Politik dinasti dapat membahayakan esensi demokrasi dan merusak prinsip-prinsip perwakilan rakyat. Ketika kekuasaan menjadi hak milik sejumlah keluarga politik tertentu, risiko konflik kepentingan dan penyimpangan demokratisasi semakin besar. Ini dapat mengancam prinsip-prinsip keseimbangan kekuasaan, transparansi, dan akuntabilitas yang merupakan pilar-pilar pondasi demokrasi yang kuat.
Ketidaksetaraan akses ke kekuasaan politik dapat menghasilkan ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi seluruh masyarakat. Demokrasi yang kuat bergantung pada partisipasi yang merata dan kompetisi yang adil. Saat politik dinasti menguat, warga negara mungkin merasa putus asa dan kehilangan kepercayaan pada proses politik. Kita harus menjaga nilai-nilai demokrasi yang kuat dan mencegah politik dinasti mengambil alih proses politik. Ini memerlukan tindakan tegas dari semua pihak, termasuk partai politik, lembaga-lembaga peradilan, dan masyarakat sipil. Kita harus memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang mendasarkan kebijakan dan pemimpinnya pada kualifikasi, pengalaman, dan integritas, bukan pada hubungan keluarga.
Mengukur Rasionalitas Putusan
Putusan MK, sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, memiliki tanggung jawab besar dalam mengukur rasionalitas dan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang mereka buat. Pada pandangan awal, keputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mungkin tampak logis dan sesuai dengan semangat pembaharuan. Konsep memberi kesempatan pada calon muda untuk terlibat dalam politik bisa saja terasa seperti langkah yang bijak. Namun, ketika kita menggali lebih dalam dan mengeksplorasi implikasi yang lebih kompleks, sejumlah pertanyaan muncul, terutama mengenai apakah syarat usia adalah indikator yang cukup kuat untuk menilai kematangan dan pengalaman dalam politik.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengungkapkan sejumlah hal yang dianggapnya aneh dalam keputusan tersebut, mulai dari legal standing pemohon. Sebelumnya, MK telah dikenal sebagai lembaga yang sangat ketat dalam menilai Legal Standing. Namun, dalam keputusan terbaru, hal ini tampaknya tidak lagi menjadi faktor yang sangat relevan. Sebagai contoh, keputusan untuk mengabulkan pemohon yang merupakan seorang mahasiswa, dan bukan merupakan pejabat pemerintahan daerah, menciptakan kebingungan. Menurut Isnur, hal ini menciptakan situasi yang sangat tidak lazim.
Isnur juga menyoroti aspek rasionalitas yang mendasari keputusan MK. Menurut pandangan Isnur, rasionalitas yang digunakan dalam putusan MK kali ini terlihat tidak didasarkan pada prinsip-prinsip yang kuat dan berlandaskan hukum. Misalnya, masuknya klausul yang mengatur syarat pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat pemerintahan daerah dalam keputusan MK menimbulkan pertanyaan serius tentang dasar hukumnya. Menurut Isnur, ini menunjukkan tanda-tanda bahwa MK mungkin terlibat dalam kebijakan yang lebih berorientasi pada kepentingan tertentu daripada pada prinsip-prinsip hukum yang seharusnya menjadi panduan.
Dalam dunia politik, konsekuensi keputusan tidak selalu terlihat seketika, tetapi muncul secara bertahap. Karenanya, penting bagi MK untuk melihat lebih jauh ke masa depan dan mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang mereka buat.
Memperbesar kesempatan bagi calon muda untuk berpartisipasi dalam politik adalah langkah yang positif, tetapi sendirian tidak cukup untuk menjamin keberhasilan negara. MK perlu memahami bahwa keputusan mereka memiliki dampak luas dan tidak hanya memengaruhi proses pemilihan, tetapi juga menciptakan norma hukum yang akan membentuk dasar demokrasi di Indonesia. Dengan pertimbangan yang matang dan menjauhi pengaruh politik, MK dapat membantu menjaga integritas proses pemilihan dan memastikan bahwa hukum yang dihasilkan benar-benar melayani keadilan dan kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak Putusan MK
Dampak dari putusan MK ini masih belum bisa diprediksi sepenuhnya, dan ini memicu kekhawatiran yang lebih mendalam di kalangan pemerhati politik dan aktivis. Putusan ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang peduli tentang masa depan politik Indonesia.
Pertama, partai politik harus segera mengevaluasi rencana dan strategi mereka dalam menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden. Mereka perlu mempertimbangkan apakah akan memberikan peluang lebih besar bagi kandidat muda yang mungkin belum memiliki pengalaman yang cukup dalam kepemimpinan. Keputusan ini akan mempengaruhi arah politik Indonesia dalam waktu yang lama.
Kedua, masyarakat juga harus lebih aktif terlibat dalam politik. Mereka perlu memahami pentingnya memantau tindakan calon-calon pemimpin mereka, baik yang berusia muda maupun yang berpengalaman. Demokrasi sejati membutuhkan partisipasi aktif masyarakat, bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai pengawas yang kritis.
Kita harus memastikan bahwa demokrasi kita tidak hanya menjadi panggung pertunjukan politik bagi keluarga-keluarga politik tertentu. Masyarakat harus menjadi penentu sejati dari masa depan politik negara ini. Hal ini akan memastikan bahwa kita memiliki pemimpin yang kompeten dan berintegritas, tidak hanya karena usia atau hubungan keluarga, tetapi karena kualifikasi dan dedikasi mereka untuk melayani rakyat.
Dengan menjawab tantangan ini, kita bisa bergerak menuju masa depan yang lebih demokratis, inklusif, dan adil di Indonesia. Ini adalah momen penting bagi negara ini untuk merefleksikan nilai-nilai demokrasi, integritas hukum, dan perwakilan rakyat. Putusan MK ini adalah sinyal untuk semua pihak untuk bersama-sama berkomitmen menjaga prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menghindari politik dinasti yang dapat merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang memicu perdebatan tentang politik dinasti tidak hanya menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam prinsip-prinsip hukum dan keadilan dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden. Implikasi jangka panjang dari keputusan ini sangat signifikan dalam menentukan arah dan integritas politik Indonesia. Keputusan ini membuka pintu bagi pertanyaan yang mendalam tentang bagaimana demokrasi harus dijalankan. Apakah kita akan membiarkan politik dinasti mengambil alih panggung, memungkinkan kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas? Atau apakah kita akan berdiri bersama dalam memperjuangkan demokrasi yang lebih kuat dan adil? Bagaimana masyarakat, partai politik, dan lembaga-lembaga hukum merespons keputusan ini akan memainkan peran penting dalam menentukan arah politik Indonesia kedepan.
Demokrasi yang kuat dan inklusif membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Kita harus menghormati nilai-nilai hukum yang adil, memastikan bahwa norma-norma hukum tersebut mencerminkan keadilan dan kepentingan rakyat. Memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka percayai dan yang benar-benar mewakili mereka adalah salah satu pilar penting dalam menjaga integritas demokrasi. Keputusan MK yang memicu perdebatan ini adalah panggilan bagi semua pihak untuk merenung, bertindak, dan merombak sistem politik kita. Bagaimana kita menjawabnya akan membentuk masa depan Indonesia. Ini adalah saat yang kritis untuk refleksi, tindakan, dan perubahan yang akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.*
Sumber tulisan :
Taufiqurrohman Syahuri.
Dosen Hukum Tata Negara (HTN), Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Muhammad Tunjang Syaeh
Mahasisswa Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta