TNews, YOGYAKARTA – Ada yang menarik di Yogyakarta, baik dari segi warisan budaya yang kaya maupun kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Dari destinasi wisata baru hingga yang legendaris, setiap sudut kota ini menyimpan potensi yang luar biasa untuk diabadikan dalam bentuk gambar dan video.
Motivasi ini yang menginspirasi Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Dinas Komunikasi dan Persandian (Diskominfosan) untuk kembali menggelar Festival Foto Jogja dan Festival Film Kampung untuk ketiga kalinya secara berturut-turut selama 3 hari (21-23 Juni) di Rooftop Pasar Prawirotaman Yogyakarta.
Kepala Diskominfosan Kota Yogyakarta Tri Hastono mengatakan, Pemkot selalu berusaha memberikan ruang bagi para kreator. Ini bentuk perhatian Pemkot untuk menegaskan bahwa Kota Yogyakarta adalah kota kreatif. Perkembangan teknologi informasi dan digital ini juga diikuti dengan pemanfaatan yang optimal.
“Pengelompokan untuk umum dan pelajar ini membuka ruang untuk pemula ini ada wadahnya, sehingga mereka bisa berproses matang hingga menjadi profesional dan akhirnya bisa menjadi aktivitas yang mempunyai nilai ekonomi.”
“Terutama untuk anak muda, mereka berproses mulai dari mengamati, menyusun konten meskipun sederhana, kemudian membuat alur dan tentunya mengenal dan menempatkan kamera pada titik sudut yang lebih menarik sesuai dengan konsep yang mereka inginkan. Pengenalan-pengenalan itu yang kita dorong, sehingga anak muda akan tumbuh dengan kebiasaan kreatif,” ujar Tri di sela-sela acara pembukaan pameran foto, Jumat (21/6/2024).
Sementara itu, salah satu Dewan Juri Festival Foto Jogja dan Festival Film Kampung #3 Tahun 2024, Misbachul Munir menjelaskan, jumlah foto tahun lalu dan tahun ini hanya beda tipis. Tahun ini untuk umum dan pelajar totalnya ada 1.021 foto. Secara jumlah turun sedikit, tapi secara konten lebih variatif.
“Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk menjelajah dan menemukan jawaban dan pertanyaan ‘Mengapa ke Jogja?’. Sebuah pengalaman visual yang akan menggugah rasa ingin tahu dan kekaguman akan keindahan dan keunikan Kota Yogyakarta.”
Misbachul menginginkan di tahun depan ada spot wisata yang tahun ini belum terekspos. Ia mengungkapkan, ada spot-spot wisata yang mungkin sudah menjadi langka, namun karena terekspos akhirnya tidak menjadi punah. Contohnya pembuatan berondong jagung. Ini sudah langka dan tidak ada publikasinya.
“Dulu awal mula kita buat lomba foto wisata, syaratnya mempunyai KTP Yogyakarta. Saya orang pertama yang tidak setuju, karena kalau KTP Yogyakarta, berarti yang berwisata ya orang Yogyakarta saja. Justru kita membutuhkan suara, pengetahuan, kebenaran, wawasan orang luar Yogyakarta untuk mengenalkan Yogyakarta ke cakupan yang lebih luas, sehingga setelah 3 atau 4 tahun terakhir ini kita membuka pendaftaran bahwa pesertanya bebas. KTP mana saja boleh, sehingga tak jarang nanti melihat nominator juaranya orang luar Yogyakarta. Mereka datang ke sini khusus karena ada lomba ini. Dan karena di Yogyakarta acaranya banyak, mereka tidak merasa rugi datang ke Yogyakarya sekaligus berwisata.”
“Kalau hari ini yang diundang baru nominator. Pemenangnya belum dirilis panitia. Sifat penjurian kita hanya memilih video atau foto tanpa mengetahui identitas peserta. Yang tahu identitas peserta adalah panitia. Juri tidak tahu siapa pesertanya. Lomba ini tidak dibatasi. Gadgetpun tidak dibatasi, karena sebenarnya foto dari peserta ini ada yang dihasilkan dari kamera besar, mirrorless, action cam, drone, dan kamera hp.”
“Tentang penilaian, yang pertama jelas tema. Foto sebagus apapun kalau temanya tidak cocok ya kita lewati. Kita bicara tentang wisata yang ada 4 pilar utama yaitu people, culture, landscape dan culinary. Ini menjadi bahan daya tarik sehingga wisatawan semakin banyak yang datang,” imbuhnya.*
Peliput: Clementine