TNews, OPINI – Di balik gemerlap demokrasi lokal di Indonesia, tersembunyi praktik suram yang kian menggerogoti nilai-nilai dasar sistem pemerintahan kita: politik uang dalam bentuk pembelian partai politik. Fenomena ini tidak sekadar menjadi celah dalam sistem, tetapi telah berkembang menjadi jembatan utama bagi bakal calon kepala daerah yang haus kekuasaan, namun miskin ideologi dan visi.
Membeli partai, bukan lagi sekadar rahasia umum, tapi sudah menjadi strategi yang terstruktur. Bakal calon-calon kepala daerah, yang kadang-kadang tanpa sejarah politik yang memadai, tiba-tiba muncul dan melesat ke puncak kekuasaan berkat satu hal: uang. Mereka membayar mahal untuk mendapatkan “tiket emas” berupa dukungan partai, menjadikan politik sebagai transaksi finansial ketimbang proses demokrasi yang sehat.
Tentu, dalam teori, partai politik adalah tulang punggung demokrasi, wadah tempat aspirasi masyarakat diartikulasikan dan diperjuangkan. Namun kenyataannya, banyak partai lebih tertarik mengisi pundi-pundi mereka daripada menjalankan misi politik yang sesungguhnya. Akibatnya, partai politik yang seharusnya menjadi penjaga gerbang demokrasi justru berubah menjadi pedagang kekuasaan.
Ini bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri. Ketika partai bisa dibeli, maka siapa saja dengan uang cukup bisa menjadi calon kepala daerah, tanpa memedulikan kemampuan, integritas, atau visi mereka. Lebih buruk lagi, praktik ini memarginalkan mereka yang benar-benar berkomitmen pada pelayanan publik tetapi tidak memiliki sumber daya finansial yang besar. Demokrasi yang seharusnya inklusif, menjadi eksklusif hanya bagi mereka yang mampu membayar.
Implikasinya pun nyata. Kepemimpinan yang lahir dari politik transaksional ini cenderung koruptif. Bagaimana tidak? Seorang calon yang telah mengeluarkan miliaran rupiah untuk “membeli” partai tentu saja akan berusaha keras mengembalikan investasinya setelah terpilih. Ini membuka jalan bagi praktik-praktik korupsi yang lebih luas, dari manipulasi anggaran hingga pengelolaan proyek yang tidak transparan. Korupsi semacam ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem politik.
Tidak berhenti di situ, politik uang dalam bentuk pembelian partai juga berpotensi menciptakan oligarki lokal yang kuat. Mereka yang berhasil “membeli” kekuasaan akan membangun dinasti politik, menciptakan lingkaran kekuasaan yang semakin sulit ditembus oleh mereka yang tidak memiliki akses ke sumber daya finansial besar. Ini bukan lagi demokrasi, tetapi plutokrasi, kekuasaan oleh dan untuk yang kaya.
Sistem ini juga menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara rakyat dengan para pemimpinnya.
Calon-calon kepala daerah yang memenangkan pemilihan melalui transaksi ini sering kali tidak merasa berkewajiban untuk benar-benar melayani rakyat, karena mereka merasa bahwa mereka tidak berhutang pada pemilih, melainkan pada uang yang mereka keluarkan. Ini mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada kepentingan pribadi atau kelompok elit tertentu.
Bagaimana kita bisa berbicara tentang demokrasi ketika kekuasaan bisa dibeli? Ketika partai politik lebih peduli pada uang daripada ideologi? Ini adalah ironi besar dalam demokrasi Indonesia. Di satu sisi, kita bangga dengan sistem pemilu langsung yang demokratis, tetapi di sisi lain, kita menutup mata terhadap kenyataan bahwa sistem tersebut telah tercemar oleh praktik-praktik kotor yang mengancam eksistensinya.
Reformasi mendesak diperlukan jika kita ingin menyelamatkan demokrasi kita dari jurang plutokrasi ini. Partai politik harus kembali ke fungsinya yang asli sebagai representasi aspirasi rakyat, bukan sekadar alat transaksi politik. Transparansi dalam pendanaan politik, penegakan hukum yang lebih kuat terhadap praktik politik uang, dan pendidikan politik bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah semakin maraknya politik transaksional.
Membiarkan praktik membeli partai terus berlangsung sama dengan menyerahkan nasib bangsa ini pada segelintir orang yang hanya peduli pada keuntungan pribadi. Ini adalah pengkhianatan terhadap demokrasi dan terhadap seluruh rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Jika dibiarkan, bukan hanya demokrasi yang akan binasa, tetapi juga harapan kita akan masa depan yang lebih baik (**)
Penulis: Marten Kilibatu (Kepala Perwakilan Totabuan News Kalimantan Timur)