
TNews, PENDIDIKAN – Di sebuah kota kecil dalam pelukan hangat Pulau Sulawesi, tepatnya di Kota Kotamobagu, keindahan bak surga yang mempesona melingkupi setiap sudutnya. Di tengah hiruk-pikuk kota, berdiri sebuah institusi pendidikan formal dengan papan bertuliskan MAN 1 Kotamobagu. Di madrasah inilah lahir sebuah komunitas siswa yang akrab dikenal oleh warga madrasah dan masyarakat sekitar dengan nama Sahabat Alam. Pada satu wawancara singkat, pembina Sahabat Alam, Amri Wijaya Mamonto menjabarkan bahwa Sahabat Alam didirikan karena kepedulian madrasah ini terhadap masalah-masalah lingkungan hidup, seperti pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh sampah, deforestasi di mana-mana, polusi udara yang mengancam kesehatan, serta produksi emisi gas rumah kaca berlebih yang menyebabkan perubahan iklim. Selain itu, masalah penting yang menjadi dasar pendirian Sahabat Alam adalah minimnya kesadaran dan keterampilan siswa dalam mengelola sampah dan menjaga lingkungan, sehingga Sahabat Alam lahir sebagai wadah pengetahuan dan membentuk kesadaran siswa dalam menjaga lingkungan. Sejak berdiri pada pertengahan tahun 2021, Sahabat Alam sudah berkiprah kurang lebih selama 3 tahun dalam menjaga kelestarian lingkungan ungkap Anastasia Manika, salah seorang pengurus Sahabat Alam. Selama itu juga Sahabat Alam menjadi rumah untuk bernaung bersama manusia-manusia yang peduli terhadap alam, tempat dimana kehidupan terasa menyenangkan dan bermakna karena dikelilingi sosok-sosok yang ingin memperjuangkan masa depan buminya. Rangkulan tangan mungil dengan tekad kuat dalam hati mampu melahirkan binar harapan di balik keterpurukan bumi dari kerusakan yang terus menghantui.
Dalam bingkai rapuh kehidupan, Sahabat Alam menjadi tembok kokoh tak kasat mata yang dibangun atas tujuan yang tak dapat dikatakan sederhana. Di zaman yang marak akan isu kerusakan lingkungan, kata “perubahan iklim” yang merupakan akibat dari kerusakan lingkungan dan produksi emisi gas rumah kaca berlebih tak lagi menjadi hal tabu di tengah masyarakat. “Perubahan iklim bukanlah ancaman yang jauh di masa depan. Itu adalah kenyataan yang terjadi saat ini,” ucap Al Gore, seorang mantan Wakil Presiden Amerika Serikat sekaligus aktivis iklim. Dari kutipan yang menohok batin tersebut, seharusnya kita sadar akan seberapa penting menjaga serta merawat tempat yang menjadi sandaran bagi setiap kerapuhan manusia.
Dibalik produksi emisi gas rumah kaca seperti emisi karbon yang masih terus meraung dengan gema tak terputus. Sahabat Alam mengusahakan langkah-langkah kreatif dan berkelanjutan untuk mengatasinya. UNESCO menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Menyampaikan Pesan Meliput Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan di Asia dan Pasifik: Buku Panduan untuk Jurnalis,” dalam buku ini dituliskan bahwa emisi gas rumah kaca sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti pembangkit listrik yang menyumbang sekitar 25% dari total emisi, transportasi, kegiatan industri, deforestasi, dan pertanian. Jenis, sumber, serta jumlah gas rumah kaca yang dilepaskan oleh setiap negara bervariasi secara signifikan, baik secara historis maupun saat ini. Tak terbayangkan seberapa banyak kerusakan iklim yang sudah terjadi sampai detik ini.
Lantas, bagaimana dengan produksi emisi gas rumah kaca di Sulawesi Utara? Apa saja aktivitas yang meningkatkan produksinya? Mari kita telaah di balik tirai-tirai berita yang beredar saat ini. Dapat dilihat dari data yang dikemukakan oleh SiPongi (Sistem Pemantauan Karhutla), sebuah platform yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia, emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan (ton CO2e) Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2023 mencapai 89.897,00. Dari data inilah, Sahabat Alam dengan aksi yang dilakukannya menjadi sebuah sorot kecil harapan di tengah gempuran kegelapan. Dengan menghadirkan Divisi Restorasi Hijau, dimana terbentuk kelompok yang berperan dalam menjaga lingkungan lewat salah satu langkah yakni reboisasi (penanaman kembali). Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Ernyasih, SKM., M.K.M, yang dipublikasikan oleh UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) dengan judul “Kontribusi Pohon untuk Kelangsungan Hidup Manusia,” menuliskan bahwa pohon-pohon yang ditanam bukan hanya memperindah lingkungan, tetapi pohon tersebut juga menyerap emisi karbon dan mengeluarkan oksigen (O2), sehingga berdaya guna menjaga kualitas udara dan mengurangi polusi udara. Tampaknya, reboisasi ini tak hanya dilakukan sebatas pada lingkungan madrasah, tetapi juga di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Ditemani oleh terik mentari di pagi hari, tepatnya pada tanggal 18 Januari 2023, Sahabat Alam melancarkan aksi reboisasi di salah satu desa dengan pesona alamnya yang sangat memukau mata setiap manusia, yaitu Desa Inuai. Bertempat di UPTD TPA Desa Inuai dan dengan melibatkan sekitar 40 anggota serta ASN Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bolaang Mongondow, pada kegiatan ini Sahabat Alam berhasil menanam 200 pohon. Namun alangkah rugi bila reboisasi ini hanya dilakukan sekali saja, sehingga dalam berbagai kesempatan atau dalam hari-hari besar nan bersejarah, Sahabat Alam selalu memanfaatkannya dengan baik. Salah satunya adalah peringatan 17 Agustus, yang selalu dirayakan dengan meriah oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Sahabat Alam merayakan hari bersejarah ini dengan melakukan aksi penanaman pohon sebagai bentuk perlawanan bumi pertiwi dari jajahan emisi gas rumah kaca. Tepatnya di Hutan Kota Kotamobagu, Sahabat Alam melancarkan aksi penanaman pohon dalam rangkulan semangat kemerdekaan yang tentunya selalu meluap dalam setiap darah muda yang berpartisipasi pada kegiatan ini, sehingga berhasil menanam sekitar 50 pohon.
Selanjutnya, mari kita sibak pada sudut pandang yang berbeda. Alangkah tragis, sampah organik yang menimbulkan pertalian kusut sekaligus penyumbang emisi rumah kaca dengan jenis gas metana (CH4) dalam jumlah besar seringkali diabaikan. Mengacu pada data statistik oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 69,9 juta ton, dengan sampah sisa makanan 41,60% dan sampah plastik sebesar 18,71%. Ternyata, sampah terbanyak bersumber dari sampah rumah tangga dengan presentase sekitar 44,37%. Dari data tersebut, sampah organik ternyata memiliki andil besar dalam menghasilkan emisi gas metana (CH4) yang lebih kuat dampak negatifnya dibandingkan emisi kabon. Ada sebuah artikel dengan judul “Pelatihan Penerapan Lubang Resapan Biopori Sebagai Penanggulangan Penumpukan Sampah Organik” yang dituliskan oleh A.A Istri Candra Manika Dewi DKK, diterbitkan dalam Indonesian Journal of Community Service and Innovation, pada jurnal tersebut menjelaskan bahwa pembusukan sampah organik yang tidak diolah dengan baik dapat menghasilkan gas metana (CH 4) yang selalu bersembunyi di balik tirai hitam, menampakkan wujud lugu bertopeng, menunggu waktu tepat untuk menunjukkan seraut ganas yang dapat menelan kehidupan.
Tanpa disadari, segala kerusakan yang menjadi momok menakutkan dalam siklus kehidupan ternyata erat kaitannya dengan ulah manusia sendiri. Ironisnya, kerusakan ini bahkan telah menjadi bagian dari kebiasaan hidup, seolah manusia tak bisa lepas darinya untuk bertahan. Namun, seakan tak berdaya, manusia sering kali menutup mata terhadap perubahan iklim yang kian nyata dan terus memperburuk kerusakan lingkungan. Lantas, melalui pertalian kusut ini, Sahabat Alam mengupayakan berbagai cara agar bisa hidup sekaligus menghindari kerusakan tersebut, seperti memanfaatkan sampah organik untuk membuat kompos dan ecoenzyme yang dimanfaatkan kembali dalam kegiatan pembibitan tanaman dan reboisasi di madrasah maupun di luar madrasah. Dikutip dalam jurnal “Penggunaan Pupuk Organik dan Biopestisida: Solusi Ramah Lingkungan dalam Konservasi Lahan dan Air,” yang dipublikasikan dalam website resmi desa Papandayan, menuliskan bahwa salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan pemanfaatan kembali sampah organik dengan mengolahnya menjadi kompos organik yang ramah lingkungan. Selain dari pengelolaan sampah, penggunaan pupuk organik juga ramah lingkungan sehingga pencemaran terhadap ekosistem dapat terhindari dengan baik.
Apakah hanya sampah organik yang menjadi pemicu gas rumah kaca? Tentu tidak demikian, masih ada sampah anorganik yang kerap diproduksi manusia dalam kesehariannya. Mengacu pada jurnal “Penyuluhan Tentang Kesling Pengolahan Sampah yang Baik di Wilayah Kerja Puskesmas Saitnihuta Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2022,” yang ditulis oleh Jefri Banjarnahor dkk., dalam Teladan Bahagia: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, disebutkan bahwa masalah yang sama terus berulang. Sampah anorganik menjadi ancaman besar yang menyeret manusia ke dalam jurang kerusakan iklim, sebuah mimpi buruk yang mengancam keberlanjutan kehidupan. Sayangnya, ketidakpedulian masyarakat tetap menjadi akar penyebab masalah ini. Tumpukan sampah anorganik masih sering terlihat di berbagai lingkungan, dan yang lebih memilukan, pencemaran ini tidak hanya merusak daratan tetapi juga menyasar sungai dan laut sebagai korbannya. Tentunya, Sahabat Alam tidak akan tinggal diam dalam menghadapi permasalahan ini. Dalam situasi yang menuntut aksi nyata di tengah masyarakat, Sahabat Alam menyadari bahwa bergerak sendiri tidaklah cukup. Oleh karena itu, langkah strategis diambil dengan menjalin kolaborasi bersama berbagai organisasi penggiat lingkungan untuk melaksanakan kegiatan clean-up di sejumlah lokasi yang dipenuhi sampah.
Setiap aksi pengurangan sampah ini akan terasa kurang lengkap tanpa upaya untuk menyisipkan kesadaran lingkungan ke dalam pemahaman masyarakat sekitar. Sehingga, Sahabat Alam juga melakukan pendekatan melalui kegiatan edukasi lingkungan seperti DIKSI (Diskusi Iklim). Diskusi ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran serta pemahaman siswa-siswi yang merupakan generasi penerus yang akan banyak ‘meminjam’ alam untuk bertumbuh dan berkembang. Selain DIKSI, ada juga diskusi-diskusi yang selalu menjadi ciri khas Sahabat Alam sebelum melangsungkan kegiatan, seperti OASIS (Obrolan Asik Seputar Isu Lingkungan Hidup). Mengedukasi lewat diskusi memang sangat penting, tetapi edukasi tanpa aksi bukanlah gaya Sahabat Alam. Aksi lain yang telah dilakukan untuk mengurangi lonjakan emisi gas rumah kaca adalah dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti panel surya, serta bijak dan hemat dalam memanfaatkan energi listrik dan air.
Selayaknya kehidupan yang tak pernah berjalan mulus, tentu dalam melancarkan aksinya, Sahabat Alam sering menghadapi berbagai rintangan. Selalu ada batu sandungan dalam setiap langkah yang diterahkan. Dalam wawancara bersama ketua Sahabat Alam, Zahrah Nur Syakilah Doe, ia menyebutkan berbagai tantangan Sahabat Alam, di antaranya adalah kurangnya perlengkapan keamanan diri dalam melakukan clean-up seperti APD, serta kesadaran siswa-siswi dan masyarakat yang kurang dalam mengelola sampah yang diproduksinya. Tentunya dalam menghadapi tantangan ini, Sahabat Alam menjumpai berbagai solusi dalam mengatasinya, seperti membuka bank sampah untuk menampung, mendaur, dan menjual kembali sampah yang sudah dikumpulkan. Selain itu, dengan adanya diskusi yang dilanjutkan dengan aksi, kader Sahabat Alam mendapatkan pengetahuan yang tak hanya tertahan sebatas dalam dirinya sendiri, tetapi juga dibagikan melalui interaksi singkat dengan masyarakat sekitar. Sahabat Alam sering mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, seperti pengelolaan sampah dengan konsep 3R, kampanye konservasi air dan energi. Hal ini mendorong masyarakat untuk mulai melakukan kebiasaan yang lebih ramah lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan produk daur ulang, mengurangi plastik sekali pakai, dan menghemat air dan energi, ucap Zahrah Nur Syakilah Doe menjawab pertanyaan yang dituturkan oleh Kanaya Syifa Mokoginta mengenai kontribusi Sahabat Alam terhadap masyarakat.
Petualangan dari selarik kertas dan tinta hitam yang menyatu ini memiliki titik usai yang harus diselesaikan dengan sederhana dan menggugah. Emisi gas rumah kaca seperti karbon dan metana ternyata bukan lagi isu yang asing di tengah masyarakat, seruan parau ajakan memerangi emisi gas rumah kaca ini teredam sudah dengan kebisingan acuh yang menjadi kebiasaan tak terelakkan dari diri yang tak tahu malu ini. Dalam keterpurukan yang hampir menjerumuskan dalam kekelaman, Sahabat Alam hadir sebagai binar harapan di tengah gempuran emisi gas rumah kaca yang menghantui, melalui langkah kecil dengan keyakinan besar menjadi setitik cahaya terang yang mendorong pemahaman serta kepedulian terhadap lingkungan. Namun, apakah aksi Sahabat Alam membuahkan hasil nyata yang signifikan bagi anggotanya? Mari kita telisik dari keterangan Meilan Gonibala selaku anggota Sahabat Alam. Ia mengatakan bahwa “Saya lebih sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Yang awalnya selalu membuang pembungkus makanan/snack sembarangan, setelah belajar bersama lewat kegiatan-kegiatan edukasi Sahabat Alam mengenai pencemaran lingkungan, saya perlahan-lahan menjadi takut untuk membuang sampah sembarangan. Hal yang paling saya takuti adalah jika suatu saat terjadi sesuatu yang buruk pada bumi, salah-satu penyebab dari kerusakan itu adalah saya sendiri.” Dari sini, dapat dipahami bahwa kesadaran dan kemauan tumbuh secara perlahan seiring dengan kepedulian yang membawa dampak positif bagi generasi penerus, yang akan mengisi, merawat, dan memanfaatkan bumi dalam perputaran kehidupan. Sahabat Alam terus berusaha mencari jawaban dan solusi untuk setiap tantangan yang menghadang.*
Oleh: Intan Puspita Sari Mokoagow, Kanaya Syifa Mokoginta, Ahmad Thoriq Kautsar Daeng Matara