Brand lokal di Indonesia, kini telah memasuki Local Brand Winter, menurut pengamatan dari Hypefast. Mengadaptasi istilah dari Tech Winter yang populer di industri teknologi, Local Brand Winter merupakan periode kecenderungan penurunan untuk industri brand lokal, yang ditandai dengan pertumbuhan yang melambat secara signifikan, investasi yang menurun bahkan hingga penutupan bisnis, setelah periode yang menunjukan sebaliknya.
JAKARTA – Brand lokal di Indonesia, kini telah memasuki
Local Brand Winter, menurut pengamatan dari Hypefast. Mengadaptasi istilah dari
Tech Winter yang populer di industri teknologi, Local Brand Winter merupakan
periode kecenderungan penurunan untuk industri brand lokal, yang ditandai
dengan pertumbuhan yang melambat secara signifikan, investasi yang menurun
bahkan hingga penutupan bisnis, setelah periode yang menunjukan sebaliknya. Di
akhir tahun 2024, sejumlah brand-brand lokal
yang digemari oleh konsumen terpaksa menghentikan kegiatan operasional karena
besarnya kompetisi. Syca, Roona Beauty, dan Matoa adalah beberapa contoh brand lokal yang terpaksa gulung tikar.
“Seperti fenomena Tech Winter yang dalam beberapa tahun
silam melanda perusahaan-perusahaan berbasis teknologi, industri brand lokal
juga tengah mengalami fenomena Local
Brand Winter, terutama di bidang Kecantikan. Kita melihat dalam waktu
kurang dari satu tahun ke belakang, banyak brand lokal kecantikan yang
memutuskan untuk berhenti kegiatan operasional. Faktor paling besar adalah
kompetisi yang terlalu kuat dari brand luar terutama brand dari Tiongkok,” ujar
Achmad Alkatiri, CEO dan Founder dari Hypefast.
Padahal di periode
sebelumnya terutama di 2021-2023, sinyal kuat positif dari berbagai brand lokal
Indonesia dalam hal pendanaan dari investor ternama seperti brand kecantikan
Rose All Day, Base, ESQA dan lainnya. Tidak hanya itu, sinyal positif juga datang
dari dominasi pertumbuhan penjualan di platform online seperti Shopee dan
Tiktok Shop.
Melalui konferensi
pers pada bulan November tahun 2024, Hypefast telah mengkomunikasikan
peningkatan kompetisi yang drastis dari kehadiran brand-brand yang berasal dari Tiongkok, dan memasuki pasar
Indonesia dengan modal yang jauh lebih kuat dibandingkan brand lokal. Hal ini
ditunjukkan dari data internal Hypefast yang temukan bahwa brand-brand yang berasal dari Cina memiliki kemampuan untuk
menghabiskan sekitar 30%-40% dari total
omset bisnis untuk kegiatan pemasaran.
Sedangkan, brand-brand lokal pada umumnya
hanya memiliki kemampuan untuk melakukan 10% sehingga bisa mempertahankan profitability.
Agresifnya pemasaran
yang disesuaikan dengan konsumen Indonesia ini menyebabkan begitu banyak brand lokal Indonesia mengalami
kesulitan dalam mengejar pertumbuhan yang sehat (sustainable growth) di negeri sendiri. memenangkan konsumen dan
meningkatkan penjualan. Bahkan dari hasil survei Hypefast, 6 dari 10 orang
Indonesia tidak berhasil membedakan brand
yang berasal dari Tiongkok dengan brand
asli Indonesia.
“Berbagai brand lokal
yang memutuskan untuk tutup di tahun 2024, memberikan sinyal negatif terhadap
investor yang pada periode sebelumnya memiliki appetite. Ini akan menurunkan
jumlah investasi secara keseluruhan, padahal untuk bisa berkompetisi dengan brand
dari Tiongkok yang habis-habisan dalam pemasaran dan produk, dibutuhkan modal
yang signifikan. Tanpa hal itu, bukan tidak mungkin, tapi brand lokal harus
lebih resilience dalam menyusun strategi,” ungkap Achmad.
Strategi
Bertahan bagi Brand Lokal
Dalam menghadapi kondisi ini,
ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh brand lokal agar tetap relevan dan bertahan di pasar:
Fokus pada Cash Flow
Banyak pendiri brand
lokal masih keliru dalam memahami perbedaan antara profit dan cashflow.
Memiliki bisnis yang menguntungkan tidak otomatis berarti memiliki arus kas
yang sehat. Profitabilitas hanya mencerminkan keuntungan di atas kertas,
sementara cash flow adalah faktor
utama yang menentukan apakah bisnis bisa bertahan dari hari ke hari. Oleh
karena itu, pemilik brand harus memastikan arus kas tetap positif dengan
merencanakan pengeluaran secara detail, termasuk dalam hal pembelian inventaris
dan pengurangan biaya yang tidak perlu. Jika pemahaman tentang cashflow masih
kurang, sangat disarankan untuk melibatkan ahli keuangan yang dapat membantu
mengelola arus keuangan dengan lebih baik.
Cashflow > Growth
Dalam menjalankan bisnis, terutama bagi brand lokal yang
sedang berkembang, banyak pendiri yang terjebak dalam obsesi mengejar
pertumbuhan (growth) tanpa
mempertimbangkan kesehatan arus keuangan (cashflow).
Mengingat tanpa cashflow yang stabil,
pertumbuhan yang cepat justru bisa menjadi bumerang.
Ambil Pendanaan Ketika Tersedia
Menunggu valuasi yang lebih tinggi bisa menjadi keputusan
yang berisiko, terutama di masa ketidakpastian seperti saat ini. Hypefast
mengingatkan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bersikap idealis terhadap
valuasi bisnis. Jika ada investor yang bersedia memberikan pendanaan, sebaiknya
kesempatan ini dimanfaatkan untuk menjaga keberlanjutan bisnis, memastikan arus
kas tetap sehat, dan memberikan ruang bagi brand untuk menyusun strategi
pertumbuhan yang lebih efektif.
Hypefast menghimbau brand lokal bahwa tujuan utama sebaiknya bukan sekadar bertumbuh
cepat, tetapi mencapai tahap self-sufficient—yakni
kondisi di mana bisnis tidak hanya profitable,
tetapi juga memiliki cashflow
positif. Dengan begitu, bisnis bisa bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit
dan tidak bergantung sepenuhnya pada investor atau pinjaman.
“Para founder
brand lokal harus realistis dalam
menghadapi situasi ini. Ini bukan saatnya untuk idealisme berlebihan, tetapi
untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dengan strategi yang lebih
matang,” ujar Tutup Alkatiri.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES
