Jepara dalam Masa Pancaroba Kepemimpinan

0
26
Gambar: Jepara dalam Masa Pancaroba Kepemimpinan.

TNews, OPINI – Jepara tengah memasuki fase penting dalam lintasan sejarah pembangunannya. Seperti pancaroba yang menandai peralihan musim, saat ini Jepara berada di tengah masa transisi penuh harapan—perubahan kepemimpinan, arah kebijakan, hingga budaya birokrasi. Roda demokrasi telah berputar. Pemilu kepala daerah telah usai. Harapan rakyat kini bertumpu pada pemimpin baru: Bupati Witiarso Utomo dan wakilnya.

Namun harapan ini bukan sekadar bunga pidato atau basa-basi politik. Ini adalah suara nyata dari masyarakat yang mendambakan perubahan mendasar—pelayanan publik yang bersih, infrastruktur yang merata, serta birokrasi yang gesit, adil, dan profesional.

Langkah Awal yang Perlu Disambut

Langkah cepat Bupati dalam menambal jalan rusak patut diapresiasi. Meski belum menyentuh akar permasalahan, tindakan ini menunjukkan bahwa ia tidak memilih duduk diam menunggu waktu. Ia memilih untuk langsung bekerja. Tapi kita berharap ini bukan sekadar langkah simbolik. Perubahan sejati harus menyentuh sistem dan sumber daya manusia—bukan hanya fisik dan permukaan.

Pentingnya Penataan Jabatan Strategis

Salah satu tantangan besar adalah penataan ulang jabatan strategis. Masih banyak kepala OPD yang berstatus pelaksana tugas (PLT). Padahal, tugas strategis tidak bisa ditangani dengan status sementara. Rotasi dan pengangkatan berbasis meritokrasi harus segera dilakukan. Hal ini penting bukan hanya untuk memperkuat manajemen pemerintahan, tetapi juga untuk memastikan semua kebijakan berjalan optimal.

ASN dan pejabat publik harus memandang rotasi sebagai bagian dari profesionalisme, bukan hukuman. Jabatan adalah titipan. Maka selama ia dipercayakan, gunakanlah untuk melayani rakyat, bukan memperkuat gengsi pribadi. Yang belum terpilih tetaplah berkontribusi. Karena roda kehidupan selalu berputar, dan setiap pengabdian punya waktunya sendiri.

Krisis Pendidikan Yang Harus Dijawab

Di balik gemerlap pembangunan fisik dan laporan program kerja yang dipoles indah, Jepara menyimpan luka dalam: sebanyak 4.082 anak tercatat tidak mengenyam pendidikan. Ini bukan angka statistik biasa, ini adalah jeritan sunyi masa depan yang diabaikan. Anak-anak yang semestinya belajar, justru terpaksa bekerja atau menganggur karena sistem gagal menjangkau mereka.

Lebih menyakitkan lagi, di saat anak-anak ini terpinggirkan, sejumlah sekolah justru masih membebani wali murid dengan pungutan berkedok “sumbangan wajib”. Di balik label “komite”, terjadi praktik-praktik yang mencederai makna pendidikan gratis. Ini bukan sekadar pelanggaran moral, ini pelanggaran terhadap amanat konstitusi: wajib belajar 12 tahun adalah hak, bukan privilese.

Dinas Pendidikan dan Disdikpora Jepara harus bertanggung jawab. Bukan hanya mengumpulkan data, tetapi turun tangan memutus mata rantai ketimpangan. Pemerintah harus segera membentuk tim independen untuk mendata ulang ATS, menelusuri penyebab, dan menyusun program intervensi langsung. Tak ada lagi ruang untuk alasan klasik anggaran minim. Jika anggaran publik bisa digunakan untuk perbaikan jalan dan festival seremonial, maka untuk pendidikan anak Jepara harus jadi prioritas nomor satu.

Pendidikan adalah pondasi bangsa. Jika hari ini kita membiarkan anak-anak putus sekolah dan membiarkan pungli merajalela, maka esok Jepara tidak hanya miskin pengetahuan—tetapi juga miskin harapan.

Keadilan Pelayanan Kesehatan

Di sektor kesehatan, keadilan belum sepenuhnya hadir. Masih ada perlakuan berbeda antara pasien BPJS dan non-BPJS. Hal ini harus dikoreksi. Rumah sakit adalah ruang pengabdian, bukan ajang pamer kuasa. Dokter dan tenaga kesehatan wajib menjunjung etika profesi dan empati kemanusiaan. Gagasan “Tenaga Kesehatan Desa” dari bupati harus segera diwujudkan agar layanan kesehatan tidak lagi terkonsentrasi di pusat, tapi menjangkau pelosok desa.

OSS dan DPMPTSP yang Masih Tertutup

Sistem OSS (Online Single Submission) sejatinya diciptakan untuk menyederhanakan izin usaha. Sayangnya, di Jepara sistem ini menjadi sumber masalah baru. DPMPTSP belum membuka akses informasi kepada publik dengan alasan teknis seperti “akun dikunci oleh pemohon”. Akibatnya, masyarakat dan LSM kesulitan mengawasi proses perizinan.

Koordinasi antar dinas pun lemah. Banyak izin cukup diverifikasi lewat nomor OSS tanpa verifikasi lapangan. Wewenang antar dinas seperti DLH, PUPR, dan Tata Ruang saling tumpang tindih dan tak kunjung diselesaikan. Ini berbahaya. Pemerintah tidak boleh kalah oleh sistem yang ia buat sendiri.

OSS seharusnya menjadi wajah keterbukaan birokrasi. Jika sistem dibiarkan tertutup, ia akan melahirkan birokrasi digital yang lamban, eksklusif, dan rawan penyalahgunaan. Investasi yang baik butuh kepastian hukum dan pengawasan. Jika tidak, rakyat Jepara-lah yang akan menanggung risikonya.

 

DISPARBUD: Arogansi yang Mengaburkan Transparansi

Di tengah sorotan publik yang semakin tajam terhadap pengelolaan sektor pariwisata dan budaya di Jepara, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) justru membuat langkah mengejutkan: menyerang media. Bukan klarifikasi, bukan data, bukan transparansi. Tapi caci maki, dengan menyebut kerja jurnalistik investigatif sebagai “sampah”. Ini bukan hanya kesalahan etis, tapi kecelakaan moral yang fatal.

Media adalah pilar keempat demokrasi, bukan musuh birokrasi. Ketika pejabat publik tidak tahan kritik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya citra pribadi, tetapi legitimasi seluruh pemerintahan. Kata-kata kasar terhadap media adalah bentuk kekerdilan nalar dan kepanikan struktural—bukan ketegasan.

Justru dalam suasana publik yang kritis, pejabat publik dituntut menjawab dengan data, bukan amarah. Memberikan klarifikasi, bukan melakukan intimidasi. Bukankah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan setiap lembaga pemerintahan menjamin hak masyarakat atas informasi?

Apakah Disparbud lupa bahwa jabatan adalah amanah publik, bukan panggung unjuk kuasa? Jika sebuah dinas tidak bisa menjawab pertanyaan dasar seputar pelanggaran perizinan, pengelolaan kawasan pantai, atau dana kepariwisataan, lantas untuk apa lembaga itu ada?

Kami dari Lembaga Jepara Membangun (LJM) menyatakan: kritik adalah vitamin bagi demokrasi, bukan racun. Jika para pejabat mulai alergi pada suara rakyat, maka rakyat berhak bertanya: siapa yang sesungguhnya mereka wakili?

Kita Butuh Gotong Royong Baru

Bupati tidak bisa bekerja sendirian. Ia butuh dukungan ASN yang loyal, tokoh masyarakat yang jernih pikirannya, pelaku usaha yang bertanggung jawab, serta rakyat yang aktif. Tidak boleh ada kelompok yang mengganggu arah perubahan hanya karena ego atau keuntungan pribadi.

Ingat, jabatan, kuasa, dan pengaruh adalah seperti sepatu pinjaman: nyaman dipakai, tapi pasti akan dikembalikan. Yang tersisa hanyalah jejak dan warisan. Maka tinggalkanlah catatan kepemimpinan yang adil dan berpihak pada rakyat kecil.

Menjaga Nyala Perubahan

Mari jaga semangat perubahan ini. Jangan padamkan dengan apatisme, intrik politik jangka pendek, atau sikap saling menjatuhkan. Masa pancaroba ini adalah peluang. Arahkan menuju Jepara yang lebih tertib, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Penutup

Dari desa-desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan, kami menulis bukan untuk menggurui, tetapi karena kami mencintai Jepara. Kami ingin Jepara menjadi tempat yang layak untuk anak cucu kami kelak. Jika ada kata yang kurang berkenan, mohon dimaafkan. Yang membaca tulisan ini tentu adalah mereka yang ingin melihat Jepara lebih baik.*

Salam hormat,
Lembaga Jepara Membangun (LJM)

Oleh: Yuli Suharyono
(Ketua Lembaga Jepara Membangun)

Disunting oleh: Petrus

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses