IELC 2025 Kukuhkan Experiential Tourism sebagai Arah Baru Wisata yang Berdampak pada Peningkatan Kapasitas SDM Bangsa

0
3

Jakarta, 26 Juni 2025 — Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) resmi menggelar Indonesia Experiential Learning Conference (IELC) 2025 di Gedung Caping Gunung, TMII – Jakarta. Mengusung tema “From Destination to Transformation”, konferensi ini menjadi edisi perdana dari forum tahunan yang dirancang sebagai platform strategis untuk membangun ekosistem Experiential Learning (EL) di Indonesia.

Jakarta, 26 Juni 2025 — Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) resmi menggelar Indonesia Experiential Learning Conference (IELC) 2025 di Gedung Caping Gunung, TMII – Jakarta. Mengusung tema “From Destination to Transformation”, konferensi ini menjadi edisi perdana dari forum tahunan yang dirancang sebagai platform strategis untuk membangun ekosistem Experiential Learning (EL) di Indonesia.

Acara ini sekaligus mengukuhkan Experiential Tourism sebagai pendekatan baru dalam pengembangan pariwisata yang tidak hanya berorientasi pada destinasi, tetapi juga berdampak nyata terhadap peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia.

Sambutan Ketua Umum AELI

Konferensi dibuka oleh Ketua Umum AELI periode 2025–2029, Gigih Gesang, biasa dipanggil MasGih, yang dalam sambutannya menegaskan arah baru AELI sebagai ekosistem pembelajaran berbasis pengalaman yang kolaboratif, profesional, dan berdampak nasional. Ia menyampaikan bahwa konferensi ini adalah titik mula dari langkah besar membumikan Experiential Learning dalam ruang-ruang wisata, pendidikan, dan pembangunan karakter bangsa.

Dalam pidatonya, MasGih juga membacakan pesan khusus dari tokoh dunia experiential learning, Prof. Simon Priest, yang memperkenalkan konsep Experiential Tourism & Travel (ET&T) sebagai integrasi antara tantangan, alam, dan warisan budaya — yang difasilitasi secara sadar untuk membentuk manusia seutuhnya.

“Experiential Tourism & Travel, sebagai praktik turunan dari metode Experiential Learning, memiliki dampak luar biasa — bukan hanya pada kesan wisata, tapi pada peningkatan 9 aspek well-being manusia. Dan saya percaya, anggota AELI di seluruh Indonesia punya kapasitas untuk merancang pengalaman seperti itu. Bukan sekadar mendatangi destinasi wisata, tapi menciptakan pengalaman yang dapat mentransformasi diri,” ujar MasGih.

Pesan ini tidak hanya menjadi inspirasi, tapi juga menjadi pijakan strategis bagi AELI untuk mendorong transformasi sistemik — yang kemudian disambut secara resmi oleh pemerintah melalui keynote Kementerian Pariwisata RI.

Keynote Speech Kemenpar: Experiential Tourism sebagai pendekatam Quality Tourism

Penguatan arah transformasi ini semakin teguh ketika Dr. Masruroh, S.Sos., MAB, Staf Ahli Menteri Pariwisata RI bidang Transformasi Digital dan Inovasi, hadir mewakili Wakil Menteri Pariwisata RI. Dalam keynote-nya, beliau menegaskan bahwa Quality Tourism adalah masa depan pariwisata Indonesia — pariwisata yang tidak sekadar ramai dikunjungi, tetapi juga berkualitas dalam dampak dan berkelanjutan secara nilai.

Setelah menyimak pesan Prof. Simon Priest yang dibacakan Ketua Umum AELI, beliau menyampaikan bahwa Experiential Tourism menjadi kunci penting dalam mewujudkan Quality Tourism, karena mampu menghadirkan pengalaman yang memperkaya makna perjalanan dan memperkuat dampaknya terhadap pembangunan karakter, wawasan, dan kapasitas manusia Indonesia.

“Inilah arah baru pariwisata Indonesia — dari sekadar berkunjung menjadi belajar, dari sekadar melihat menjadi mengalami,” ujarnya dalam pidatonya.

Melalui pendekatan ini, Kementerian Pariwisata memberi sinyal kuat bahwa pengembangan sektor wisata ke depan perlu semakin terintegrasi dengan strategi penguatan SDM bangsa — dan AELI dipandang sebagai mitra strategis dalam agenda besar ini.

Panel Strategis: Menyatukan Kebijakan, Ilmu, dan Praktik Transformasi

Narasi besar yang digaungkan dalam sambutan dan keynote diperkuat lebih dalam dalam sesi Keynote Panel Discussion bertema “Capacity Building through Destination-Based Learning.” Sesi ini menghadirkan pandangan strategis dari tokoh-tokoh pemerintah, akademisi, dan pelaku lapangan, yang membahas bagaimana destinasi wisata dapat menjadi ruang belajar yang membentuk kapasitas manusia — jika dirancang secara sadar dengan pendekatan experiential.

Dipandu oleh Heriyanto sebagai moderator, panel ini mempertemukan lintas perspektif:

Ir. Rizki Handayani Mustafa, MBTM (Deputi Industri dan Investasi, Kemenparekraf RI) mengungkapkan bahwa Kementerian saat ini tengah menyusun panduan nasional untuk Edutourism dan Study Tour, dan menilai Experiential Tourism sebagai kerangka penting dalam implementasinya — agar perjalanan edukatif benar-benar membentuk peserta.

Brigjen Pol. Langgeng Purnomo, S.I.K., M.H. (Karobinkar SSDM Polri) menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis tantangan dan petualangan dapat diterapkan dalam membangun karakter dan jati diri bangsa, terutama bagi para ASN dan aparatur negara.

Prof. Dr. Suyono, M.Si. (Sekretaris UNJ) menjelaskan bahwa Experiential Tourism memiliki akar kuat dalam teori pendidikan modern — sebagai bentuk pembelajaran yang kontekstual, bermakna, dan menyentuh ranah emosi serta refleksi diri.

Ir. Robby Seahan (Bangun Insan Nusantara) menyoroti pentingnya penguatan karakter siswa dan pemuda melalui program-program experiential learning yang berbasis petualangan. Ia menekankan bahwa pengalaman langsung di luar ruang menjadi media efektif untuk membentuk nilai, sikap, dan daya juang generasi muda.

Sesi ini memperlihatkan bahwa Experiential Tourism bukan hanya praktik komunitas, tetapi telah diakui sebagai pendekatan lintas sektor — dari kebijakan nasional, pendidikan tinggi, hingga penguatan karakter aparatur dan generasi muda.

Talkshow Praktik Baik: Dari Sekolah, Desa, hingga Industri Wisata

Jika sesi panel menampilkan kerangka kebijakan dan arah transformasi dari atas, maka sesi Talkshow: Best Practices EL Tourism in Action memperlihatkan wajah nyata praktik penerapan Experiential Learning yang sudah hidup dan tumbuh di berbagai pelosok Indonesia.

Dipandu oleh fasilitator senior Sofiyan Hadi, sesi ini mempertemukan para pelaku lapangan yang telah merancang dan menjalankan wisata berbasis pengalaman — dari dunia pendidikan, komunitas desa, hingga industri wisata dan event.

Kresno Wiyoso (Pendiri AELI) membuka sesi dengan gagasan konsep ‘Sekolah Wisata’ — yakni sekolah yang menyenangkan, kontekstual, dan membuat siswa “bermain untuk belajar.” Ia menegaskan bahwa pembelajaran paling berdampak adalah yang lahir dari pengalaman, bukan sekadar materi.

Vicky Gosal (Karash Adventure Indonesia) membagikan pengalaman bagaimana aktivitas petualangan seperti hiking, rafting, atau survival dapat menjadi ruang pembentukan karakter — jika difasilitasi secara sadar dan reflektif.

Dian Wibowo (DPD AELI DIY) menjelaskan proses penyusunan modul pendampingan desa wisata berbasis EL yang kini telah diadaptasi di berbagai wilayah. Modul ini memungkinkan desa bukan hanya jadi objek wisata, tapi juga subjek pembelajaran.

Deden Nursan (ASIDEWI) mengingatkan bahwa pengalaman di desa wisata tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja. Harus ada desain yang berbasis Experiential Tourism, agar wisatawan bukan hanya datang dan berfoto, tapi terlibat, belajar, dan terhubung dengan kehidupan desa.

Harry D. Nugraha (EGO Global Asia) menutup sesi dengan menyoroti pentingnya merancang produk wisata experiential yang tidak hanya bermakna, tetapi juga menarik secara komersial. Ia mengusulkan perlunya “ramuan bersama” yang bisa dijual dan diadopsi oleh seluruh ekosistem EL Indonesia agar dapat tumbuh berkelanjutan.

Talkshow ini menjadi bukti bahwa Experiential Tourism bukan hanya gagasan, tetapi praktik yang telah mengakar — dan siap tumbuh lebih besar lewat kolaborasi antar pelaku EL di Indonesia.

Showcase: Merasakan Langsung Experiential Tourism di TMII

Setelah mendengarkan narasi besar dan menyerap inspirasi dari para pelaku lapangan, peserta diajak untuk “walk the talk” melalui sesi showcase langsung di kawasan wisata TMII.

Didesain sebagai pengalaman fasilitatif, peserta tidak hanya berkeliling atraksi wisata, tetapi juga merasakan langsung pendekatan experiential tourism melalui aplikasi EL 5.0 dengan aktivitas, tantangan, dan refleksi yang dipandu oleh fasilitator anggota AELI.

Dengan melibatkan area-area tematik dan atraksi budaya di TMII, peserta merasakan bagaimana destinasi bisa diubah menjadi ruang belajar yang hidup — bukan dengan menambah materi, tapi dengan membangkitkan keterlibatan, rasa ingin tahu, dan pemaknaan personal.

Showcase ini menjadi perwujudan nyata dari semangat IELC 2025: From Destination to Transformation.

Peluncuran Buku & Tindak Lanjut Strategis: Menyalakan Gerakan, Menguatkan Ekosistem

Sebagai penutup konferensi, AELI meluncurkan buku berjudul “The Light of Experiential Learning Indonesia” — sebuah karya kolektif yang merekam semangat, praktik, dan refleksi dari berbagai pelaku experiential learning di Indonesia.

Buku ini menjadi simbol bahwa IELC bukan hanya ruang diskusi, tapi juga langkah nyata untuk mendokumentasikan pengetahuan, membagikan inspirasi, dan mengukuhkan arah gerakan.

Dalam rangka memperkuat kolaborasi dan keberlanjutan program, dilakukan pula penandatanganan MoU antara AELI dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam pengembangan kapasitas SDM berbasis EL di bidang pendidikan, serta MoU antara AELI dan Hoople — platform digital Experiential Learning 5.0 yang digunakan dalam sesi Walk the Talk di TMII.

Hoople menjadi bagian dari inisiatif strategis AELI untuk menghadirkan integrasi teknologi dalam desain, pelaksanaan, dan pengukuran pengalaman pembelajaran.

Konferensi ini juga menghasilkan beberapa tindak lanjut strategis, antara lain:

1. Penguatan praktik Experiential Tourism di berbagai destinasi wisata, khususnya desa wisata sebagai ruang pembelajaran berbasis pengalaman.

2. Harapan dari Kementerian Pariwisata agar AELI terlibat aktif dalam penyusunan standar nasional Edutourism dan Study Tour.

3. Penguatan peran Experiential Learning dalam pembangunan karakter pemuda dan aparatur negara.

4. Peningkatan kontribusi AELI dalam pengembangan wilayah berbasis pengalaman, melalui sinergi dengan komunitas, lembaga pendidikan, dan pemerintah daerah.

5. Pengembangan transformasi digital experiential learning melalui kolaborasi dengan Hoople, untuk mendukung proses fasilitasi dan dokumentasi pembelajaran yang lebih terukur dan partisipatif.

Dengan ditutupnya IELC 2025, AELI tidak hanya mempertegas posisinya sebagai wadah strategis pengembangan Experiential Learning, tapi juga menyalakan gerakan kolaboratif menuju Indonesia yang belajar dari pengalaman — dan bertumbuh dari keterlibatan.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES