Di tengah tren sosial media yang dipenuhi dengan konten “cuan cepat”, pamer profit dari HP, dan gaya hidup instan, satu hal yang sering dilupakan justru fondasi terpenting dari semuanya: literasi keuangan dan kesadaran risiko.
Setiap hari kita disuguhkan testimoni kilat dari “uang jajan jadi ratusan juta”, “modal kecil jadi mobil”, hingga “kerja dari rumah cuan tiap hari.” Namun, di balik narasi itu, banyak kisah pilu yang tak diangkat: margin call massal, salah entry karena FOMO, atau rugi karena ikut sinyal tanpa paham analisa.
Di sinilah kisah Steven G. Tunas mengambil peran penting. Pengalamannya sebagai fund manager di salah satu perusahaan paling bonafit di Indonesia, ia memiliki misi membangun komunitas trader yang melek literasi, bukan sekadar mengejar angka.
Dari Laut ke Lantai Bursa
Lulusan jurusan Perikanan dan Kelautan IPB ini awalnya tak punya rencana jadi trader, apalagi fund manager. Ketertarikannya pada dunia keuangan muncul setelah mengikuti kelas pasar modal dari Bursa Efek Jakarta dan Bursa Berjangka. Dari sana, jalannya berubah total.
Ia memulai karier sebagai analis, kemudian naik menjadi manajer di perusahaan pialang berjangka, menyentuh berbagai sisi industri: dari marketing, operasional, hingga dealing room. Jam terbang dan pelayananya di berbagai perusahaan sekuritas membawanya pada kesempatan karir lain yang sebelumnya tak pernah ia sangka.
Titik penting datang ketika salah satu klien loyalnya—pemilik ABC Group—memintanya mengelola dana investasi perusahaan.
Jago Scalping: Bukan Sekadar Profit, Tapi Komunitas Edukasi
Seiring meningkatnya permintaan untuk belajar trading selama pandemi, Steven mendirikan Jago Scalping. Namun ia menegaskan: ini bukan “kelas cuan instan”, tapi komunitas edukasi dengan pendekatan realistis dan berkelanjutan.
“Banyak orang ingin cepat kaya, modal kecil, untung besar. Tapi lupa kalau rugi itu bagian dari proses belajar,” ujarnya.
Steven mengajarkan risk management, money management, dan pola pikir jangka panjang. Analisa teknikal hanyalah alat. Tanpa mental dan sistem, trader hanya jadi korban volatilitas market.
Belajar dari Krisis, Bukan Konten Viral
Steven tak hanya belajar dari grafik dan teori. Ia mengalami langsung tiga fase terburuk dalam sejarah pasar global selama mengelola investasi perusahaan:
1) 2001 (Tragedi 9/11): Semua nasabahnya margin call sehari setelah ia memberi rekomendasi saham.
2) 2008 (Krisis Finansial Global): Portofolio saham anjlok, padahal posisinya terlihat aman sebelumnya.
3) 2020 (Pandemi COVID-19): Harga minyak jatuh, saham babak belur, banyak investor panik.
Semua titik terendah itu memiliki satu benang merah: terjadi saat posisi ditahan menginap. Dari sana, ia simpulkan bahwa scalping menjadi strategi paling aman dan fleksibel, terutama bagi trader ritel yang ingin tetap profit tanpa tekanan ekstrem.
Visi Besar: Trading Sebagai Gerakan Literasi Finansial
Lewat Jago Scalping, Steven ingin trading tak hanya jadi ladang cuan, tapi jadi gerakan edukatif.
“Kalau kita tidak belajar investasi dengan benar, uang kita akan terus disedot oleh broker asing atau judi online,” jelas Steven.
Melalui mentoring seumur hidup, komunitas belajar bersama, dan kurikulum yang realistis, Steven ingin mendorong masyarakat Indonesia—dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga profesional untuk membangun masa depan finansial dengan sadar dan strategis.
Cerdaskan Trader Indonesia
Kisah Steven G. Tunas menjadi pengingat bahwa dalam dunia investasi, hasil bukan segalanya. Fondasi justru ada pada mentalitas, edukasi, dan keberanian mengelola risiko. Di saat banyak orang tergoda pada keajaiban satu malam, Steven mengajak kita untuk membangun keajaiban yang bertahan seumur hidup.
Karena seperti yang ia sering katakan:
“Profit itu hasil, tapi mental itu fondasi. Tanpa fondasi yang kuat, semua hasil akan runtuh saat badai pertama datang,” pungkas Steven.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES
