Karawang, 21 Juli 2025 — Tidak semua orang memilih jalan yang mudah. Ada yang tetap percaya pada kekuatan satu bibit kecil, meski berkali-kali dihantam gelombang pasang, kehilangan, dan disebut sia-sia.
Di pesisir Dusun Tangkolak, Kabupaten Karawang, dua sosok sederhana bernama Dayanto dan Slamet Abadi menjadi bagian dari cerita yang membuktikan bahwa menjaga alam bukan hanya tentang masa kini, tetapi tentang warisan yang ingin mereka tinggalkan untuk masa depan.
Tahun 2020 menjadi momen menyedihkan bagi Tangkolak. Gelombang besar menerjang kawasan ini dan merusak destinasi wisata pantai mangrove yang dulunya menjadi kebanggaan warga. Lebih dari 100 ribu pohon mangrove musnah.
Sekitar 1,2 kilometer garis pantai rusak parah, dan lima hektare hutan mangrove tenggelam. Padahal, dulu kawasan ini hijau dan penuh tambak.
“Saya teringat dulu Tangkolak ini hutan mangrove-nya luas, tambaknya juga enggak sedikit. Sekarang tinggal beberapa, dan hutan mangrovenya itu tipis,” kenang Dayanto, warga asli yang kini mendedikasikan hidupnya untuk memulihkan kawasan tersebut.
Dulunya, Dayanto bukanlah penjaga alam. Ia justru sempat menjadi perusak, menyelam dengan kompresor dan mengambil terumbu karang serta ikan hias dari laut. Ia mengakui bahwa awalnya, peringatan tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati tidak ia gubris.
Sampai pada satu titik, ia berpikir jauh ke depan, bahwa jika terus merusak, anak cucunya kelak tidak akan mewarisi laut yang sama. Kesadaran itu mengubah arah hidupnya. Sejak 2014, ia mulai menanam mangrove bersama Kelompok Kreasi Alam Bahari. Dari pembibitan, penyulaman, hingga membersihkan sampah saat musim rob datang, ia lakukan tanpa pamrih. Tujuannya hanya satu: menyelamatkan kampung halamannya dari abrasi.
Dayanto dan kelompoknya kini memusatkan perhatian pada penanaman tiga jenis bibit mangrove: bakau, api-api lanang, dan api-api wadon. Ketiganya ditanam untuk membentuk sabuk hijau alami yang bisa melindungi garis pantai dari kerusakan lebih lanjut. Tapi perjuangan ini tentu tidak bisa dilakukan sendiri.
Ia dibantu oleh Slamet Abadi, seorang dosen dari Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), yang sejak 2015 aktif turun ke Tangkolak lewat gerakan Unsika Peduli Mangrove. Bagi Slamet, keterlibatan ini adalah bagian dari tri dharma perguruan tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk merancang metode tanam yang efektif agar mangrove tidak kembali rusak akibat rob. Dari pengalaman selama dua tahun pertama yang selalu gagal, Slamet dan tim akhirnya menemukan metode “rumpun berjarak” sebagai solusi. Cara ini membuat bibit bisa tumbuh lebih kuat meski diterjang air pasang. Baginya, perjuangan ini bukan soal keuntungan materi.
“Kami tidak punya lahan, tapi kami punya akses dan kemauan untuk menanam. Kami ingin Karawang tetap punya oksigen, punya mangrove yang sehat,” tegas Slamet.
Namun, upaya mereka menghadapi tantangan berat. Salah satunya adalah sampah yang terbawa dari hulu Sungai Citarum hingga ke kawasan mangrove Tangkolak. Sampah ini menumpuk di akar-akar muda dan sering kali membuat pohon mangrove mati sebelum sempat tumbuh besar. Slamet pun mengingatkan masyarakat untuk berhenti membuang sampah ke sungai, karena dampaknya sangat nyata dan merusak kerja keras banyak pihak.
Meski begitu, semangat mereka belum padam. Dayanto berharap program ini terus mendapat dukungan, baik dari lembaga seperti LindungiHutan maupun masyarakat luas.
“Tolong jangan tinggalin kami. Kami masih butuh bimbingan, butuh perhatian,” ujarnya.
Di tengah kerusakan dan ketidakpastian, kisah Dayanto dan Slamet adalah pengingat bahwa alam bisa pulih jika dijaga bersama. Bahwa tanah yang dulu rusak, bisa kembali menjadi sumber kehidupan, asal ada keyakinan, ketekunan, dan keberanian untuk memulainya.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES