DELAPAN puluh tahun sudah Republik Indonesia berdiri. Sebuah usia yang tak lagi muda, tapi tetap menyala oleh semangat perjuangan dan cita-cita para pendiri bangsa.
Hari Kemerdekaan ke-80 ini bukan sekadar perayaan seremonial dengan bendera, lomba, dan pidato, melainkan momentum refleksi: sejauh mana generasi hari ini, khususnya generasi muda di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), telah menjadi bagian dari perjalanan panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Kita hidup di zaman yang jauh berbeda dari masa perjuangan fisik melawan penjajahan. Namun, bentuk perjuangan itu kini berganti rupa, menjadi perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, kemalasan, dan korupsi moral. Di era digital, kemerdekaan bukan lagi soal senjata, tapi tentang kemampuan menguasai ilmu, teknologi, dan etika. Di sinilah generasi emas Bolsel harus mengambil peran.
Pemerintah pusat telah menetapkan target besar menuju Indonesia Emas 2045, sebuah visi untuk menjadikan Indonesia negara maju, berdaulat, dan berkeadilan sosial. Tapi visi besar itu hanya akan jadi slogan jika tidak dimulai dari desa-desa, dari sekolah-sekolah, dari kampus-kampus, dan dari masyarakat kecil seperti Bolsel. Karena sejatinya, generasi emas nasional lahir dari generasi unggul daerah.
Bolsel memiliki modal besar. Alamnya kaya, budayanya kuat, dan nilai religius masyarakatnya menjadi pondasi moral. Namun, semua itu tidak cukup tanpa kesadaran kolektif bahwa generasi muda harus berani menjadi pelaku sejarah, bukan sekadar penonton. Mereka harus melek teknologi, aktif dalam inovasi sosial, dan punya integritas untuk membangun daerah tanpa harus meninggalkannya.
Kita sering mendengar jargon “membangun dari desa”. Tapi membangun desa bukan hanya soal infrastruktur jalan atau jembatan. Yang paling penting adalah membangun manusia, membentuk karakter generasi muda Bolsel agar memiliki daya saing global, tapi tetap berakar pada nilai-nilai lokal: religius, santun, dan gotong royong.
Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat harus berkolaborasi menciptakan ekosistem belajar yang sehat. Tidak cukup hanya menuntut anak muda berprestasi, tapi memberi mereka ruang untuk berkreasi. Tidak cukup mengajarkan sejarah, tapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa mereka adalah penerus para pahlawan.
Kemerdekaan ke-80 ini seharusnya menjadi alarm kesadaran: waktu kita tidak banyak. Dua dekade ke depan, saat Indonesia genap 100 tahun, generasi muda Bolsel hari ini akan menjadi pemimpin bangsa. Maka sekaranglah saatnya mereka ditempa, dibimbing, dan diberi ruang untuk tumbuh menjadi generasi emas, bukan generasi instan yang hanya sibuk di layar, tapi generasi yang berkarya nyata bagi daerah dan bangsa.
Bolsel harus menatap masa depan dengan optimisme. Karena sejatinya, setiap perayaan kemerdekaan bukan hanya mengenang perjuangan masa lalu, tapi memastikan semangat itu terus hidup dalam jiwa generasi masa kini. Dan ketika nanti Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya, semoga nama-nama dari Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), tercatat dalam sejarah, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku perubahan.
Editorial : Surahman Mokoagow