Lebih dari 90% karet alami dunia dibudidayakan oleh petani kecil, namun banyak dari mereka masih belum berperan aktif dalam rantai pasok formal. Thailand memimpin produksi dengan kontribusi sebesar 34%, disusul oleh Indonesia (26%), Vietnam (8%), Tiongkok (7%), dan India (7%). Sejak tahun 1993, lebih dari 4 juta hektare hutan mengalami alih fungsi untuk perluasan perkebunan karet, dan sebagian besar berada di kawasan ekosistem yang sensitif. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, ketertelusuran rantai pasok (traceability) kini menjadi prioritas utama di seluruh industri. Sekitar 15.000 lahan karet telah dipetakan, dan 4.500 petani telah diverifikasi sebagai bagian dari inisiatif penelusuran yang dilakukan oleh G T Rubber yang bekerja sama dengan perusahaan AgriTech asal Indonesia, KOLTIVA. Upaya ini juga melibatkan pelatihan kepada 200 pedagang terkait kepatuhan terhadap regulasi EUDR, guna mencegah masuknya karet yang tidak terverifikasi ke dalam rantai pasok.
Thailand, salah satu produsen karet alam terbesar di dunia, tengah hadapi transformasi besar seiring meningkatnya tekanan regulasi dan permintaan pasar akan ketertelusuran dan keberlanjutan. G T Rubber berada di garis depan perubahan ini, denganmenggandeng perusahaan agritech asal Indonesia KOLTIVA untuk menerapkan sistem ketertelusuran dan manajemen risiko yang ketat, sejalan dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Kolaborasi ini bertujuan membangun sistem menyeluruh yang mampu merekam, memverifikasi, dan memantau produksi karet dari petani kecil hingga tahap ekspor.
Fragmentasi, Agregasi, dan Tantangan Ketertelusuran
Lebih dari 90% karet alam global diproduksi oleh petani kecil di Asia Tenggara, sebagian besar berada di luar rantai pasok formal dan memiliki hubungan terbatas dengan pabrik pengolah maupun pembeli (SPOTT, 2022). Thailand menjadi produsen terbesar dengan pangsa 34%, disusul Indonesia (26%), Vietnam (8%), Tiongkok (7%), dan India (7%). Meski sektor ini menopang jutaan mata pencaharian, ekspansinya yang pesat turut mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta konflik kepemilikan tanah. Rantai distribusi yang terfragmentasi menambah rumitnya rantai pasok, sehingga upaya menerapkan ketertelusuran dan prinsip keberlanjutan menjadi sangat menantang.
Sebuah studi tahun 2023 dari Nature Journal menegaskan urgensi persoalan ini: lebih dari 4 juta hektare hutan (setara dengan luas negara Swiss) telah dibuka untuk perkebunan karet sejak 1993, dan setengah dari luasan tersebut terjadi setelah tahun 2000, banyak di antaranya berada di kawasan yang secara ekologis sangat sensitif. Jejak lingkungan dari sektor ini sangat besar, namun karet masih belum banyak dibahas dalam wacana global tentang deforestasi.
Seiring perkembangan regulasi perdagangan internasional, kemampuan untuk memverifikasi asal-usul bahan baku—hingga ke tingkat petani—akan menjadi faktor penentu bagi eksportir yang ingin tetap mengakses pasar global yang bernilai tinggi.
Infrastruktur Berbasis Data di Tingkat Petani
G T Rubber mendorong ketertelusuran dan manajemen risiko yang lebih baik dengan mengadopsi sistem digital dari KOLTIVA. Sistem ini memverifikasi legalitas lahan, menilai risiko deforestasi, dan menghubungkan data dari tingkat petani langsung ke transaksi sumber pasok. Kumpulan data yang sangat detail ini membentuk kerangka utama kepatuhan G T Rubber, yang memungkinkan pemantauan secara real-time dan pendeteksian risiko secara dini.
Yang tak kalah penting, sistem ini juga mempersiapkan perusahaan memenuhi persyaratan integrasi dengan sistem informasi Uni Eropa yang akan datang (EU Information System / EUIS), yang mewajibkan pelaporan geolokasi dan uji tuntas (due diligence) secara mendalam.
Hingga saat ini, lebih dari 15.000 lahan petani kecil di Thailand telah dipetakan dalam bentuk poligon, dengan lebih dari 4.500 petani karet telah diverifikasi melalui analisis geospasial, pemeriksaan hak atas lahan, dan penilaian risiko deforestasi. Seluruh data yang telah tervalidasi ini terhubung langsung ke transaksi sumber pasok dalam sebuah Sistem Informasi Manajemen (MIS) terpusat, memungkinkan tim kepatuhan G T Rubber untuk melacak, menilai, dan merespons risiko secara real-time.
Dirancang agar selaras dengan sistem informasi Uni Eropa yang akan datang (EUIS), sistem ini mendukung pelacakan geolokasi secara rinci dan pelaporan uji tuntas—dua komponen utama dalam regulasi EUDR. Dengan mengonsolidasikan proses verifikasi dan pemantauan dalam satu platform, G T Rubber memperkuat transparansi sekaligus meningkatkan kesiapan menghadapi dinamika regulasi keberlanjutan global.
“Deforestasi yang terkait dengan komoditas karet sering kali dipandang sebelah mata, padahal datanya menunjukkan jutaan hektare hutan telah hilang dalam dua dekade terakhir. Untuk tetap dapat mengakses pasar internasional, kita harus melakukan hal nyata dan mulai membangun sistem yang menghasilkan data lapangan yang dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti. Hanya melalui data tersebut kita dapat membuktikan apa yang benar-benar terjadi di lapangan,” ujar Manfred Borer, CEO dan Co-Founder KOLTIVA.
“EUDR dan regulasi serupa bukanlah hambatan sementara namun sekaligus arah masa depan perdagangan global. Bagi pelaku usaha, kemampuan untuk menunjukkan ketertelusuran hingga ke tingkat petani kini menjadi bagian penting dari ketahanan jangka panjang. Ini bukan sekadar soal mematuhi aturan hari ini, tapi memastikan rantai pasok kita mampu beradaptasi dengan ekspektasi masa depan,” tegasnya.
Tantangan di Tingkat Mitra Rantai Pasok: Pelatihan dan Sistem Segregasi sebagai Solusi Mitigasi
Mitra rantai pasok sering kali menjadi titik paling rentan dalam upaya kepatuhan, terutama karena beroperasi di wilayah terpencil dengan infrastruktur digital yang terbatas serta minim pemahaman terhadap tuntutan regulasi baru. Lebih dari 200 mitra rantai pasok dalam jaringan G T Rubber telah mengikuti pelatihan terstruktur melalui program peningkatan kapasitas. Pelatihan ini menggabungkan literasi regulasi dengan penerapan praktis di lapangan, dilengkapi dengan panduan langsung serta evaluasi sebelum dan sesudah pelatihan untuk mengukur pemahaman mereka terhadap EUDR dan praktik ketertelusuran.
Selain itu, sistem pelabelan disediakan untuk mendukung pemisahan karet yang telah terverifikasi dan yang belum, serta protokol pengadaan diterapkan guna mencegah kontaminasi terhadap pasokan yang telah diverifikasi.
“Data petani saja tidak cukup untuk memastikan kepatuhan. Jika mitra rantai pasok mencampurkan karet yang tidak terverifikasi ke dalam pasokan, maka seluruh produk beserta kredibilitas sistem ketertelusuran akan dipertanyakan,” ujar Olivier Barents, Senior Head of Marketing APAC di KOLTIVA. “Risikonya yaitu pengiriman yang tidak patuh bisa berujung pada sanksi mahal atau penolakan masuk pasar. Karena itu, kami memprioritaskan ketertelusuran tidak hanya di tingkat petani, tetapi juga di antara mitra rantai pasok melalui pelatihan dan alat ketertelusuran yang tepat. Satu pengiriman yang tidak terdokumentasi bisa menutup akses pasar. Tugas kami adalah membekali pemasok dengan sistem yang mampu mendeteksi dan mengatasi risiko ini sebelum berubah menjadi pelanggaran regulasi.”
Membangun Ketertelusuran di Lapangan
Sebuah inisiatif terbaru dari G T Rubber di wilayah selatan Thailand menjadi contoh konkret dalam membangun rantai pasok karet bebas deforestasi. Program ini disusun berdasarkan kerangka keterlibatan tiga tingkatan yang dimulai dari penyelarasan strategis di tingkat korporasi, dilanjutkan dengan pelatihan bagi mitra rantai pasok lokal, serta pendampingan berkelanjutan bagi petani kecil di wilayah sumber pasok utama. Pendekatan berlapis ini memperkuat integritas data dan meningkatkan ketertelusuran pada titik-titik agregasi kritis yang kerap menjadi mata rantai paling lemah dalam transparansi rantai pasok.
Yang membedakan model ini adalah integrasi berbagai sistem deteksi risiko. Citra satelit, catatan penggunaan lahan nasional, dan platform peringatan dini deforestasi digabungkan untuk membentuk profil geospasial dinamis dari wilayah sumber pasok. Profil ini memungkinkan penilaian risiko yang lebih akurat dan intervensi yang lebih proaktif.
G T Rubber berencana memperluas inisiatif ketertelusuran ini ke lebih banyak provinsi pada tahun 2025, dengan target menjangkau setidaknya 10.000 petani kecil hingga 2027 serta meningkatkan porsi karet yang telah diverifikasi dalam total produksinya. Perusahaan juga terus bekerja sama dengan Koltiva untuk memperkuat kerangka ketertelusuran, memanfaatkan fitur digital terbaru dan analisis data untuk mengidentifikasi celah dalam sumber pasok dan memantau kinerja lapangan secara lebih efektif.
“Kami ingin meningkatkan daya saing untuk jangka panjang,” ujar Tanaphon Tanunpatcharapol, Managing Director di G T Rubber Company Limited. “Pembeli sekarang tidak hanya menuntut kualitas namun juga menuntut bukti bahwa bahan baku dapat ditelusuri dan bebas dari deforestasi. Itulah arah masa depan perdagangan global.”
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES