TNews, BENGKULU — Belasan warga Kabupaten Seluma kembali menjadi korban perdagangan orang berkedok penyaluran pekerja migran ke Jepang. Polanya nyaris seragam: iming-iming bekerja di negeri maju, bayaran tinggi, prosedur mudah, dan sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang mengaku memiliki “jalur cepat”. Namun setelah uang puluhan juta rupiah berpindah tangan, yang tersisa hanya mimpi yang terampas dan keluarga yang terjebak utang.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu kini tengah membongkar skema penipuan yang dikemas rapi itu. Kasubdit Renakta, AKBP Julius Hadi, menyebut sedikitnya belasan warga Seluma menjadi korban. “Dua sudah berada di Jepang, tapi tanpa pekerjaan dan terlantar. Lebih dari sepuluh lainnya sudah membayar, tapi tidak diberangkatkan,” ujar Julius, Kamis (20/11).
Para korban, sebagian besar dari kalangan ekonomi terbatas, rela menjual rumah, tanah, hingga berutang hanya untuk mendapat kesempatan bekerja di Jepang. “Ada keluarga sampai bertengkar karena biaya yang dikeluarkan. Ini mimpi yang dibangun dari pengorbanan, tapi justru dirampas oleh pelaku,” kata Julius. “Ini kejahatan berat.”
Hingga saat ini, penyidik telah memeriksa 13 saksi. Dua korban yang berada di Jepang memberikan keterangan lewat zoom meeting, sebuah metode yang telah mendapat persetujuan dari jaksa. Dari pemeriksaan tersebut, polisi menemukan pola pungutan yang masif: biaya keberangkatan mulai dari Rp 60 juta hingga Rp 150 juta per orang. Lebih mencengangkan lagi, sebagian korban diberangkatkan menggunakan visa wisata, bukan visa kerja, menandakan bahwa pelaku sejak awal mengabaikan prosedur resmi.
Jaringan yang Bekerja Sistematis
Penyidik menduga jaringan TPPO ini bukan kelompok kecil. Ada struktur yang tersusun rapi dengan peran berbeda-beda.
Perekrut: menjerat warga dengan janji pekerjaan dan gaji besar.
Pengangkut: membawa calon korban menuju tempat pelatihan.
Penampung: menahan korban di lokasi tertentu hingga ada jadwal keberangkatan.
Pengirim: mengatur proses keberangkatan ke Jepang, meski tanpa kejelasan dokumen.
“Ini bukan kerja sporadis,” tegas Julius. “Ada rantai panjang dan pelaku lebih dari satu.”
Kasus ini memuncak setelah tragedi yang menimpa Adelia Meysa, 23 tahun, warga Seluma. Ia diberangkatkan oleh sebuah LPK di Garut, Jawa Barat, dengan visa wisata. Setibanya di Jepang, Adelia jatuh sakit, terlantar, dan akhirnya meninggal dunia. Kasus Adelia membuat pemerintah Provinsi Bengkulu membentuk tim investigasi lintas instansi.
Hasil penyelidikan awal menemukan masih ada warga Bengkulu lain yang bernasib serupa di Jepang: tanpa pekerjaan, tanpa pendampingan, dan tanpa dukungan. Nama-nama mereka kini menjadi daftar panjang korban TPPO yang belum seluruhnya terungkap.
Polda Bengkulu memastikan penyidikan akan terus berjalan. Julius meminta publik bersabar dan mengawal perkembangan kasus. “Mohon doa,” ujarnya, “agar semuanya dapat terungkap sampai ke akar-akarnya.”
Di tengah gencarnya program penempatan pekerja migran, kisah ini menjadi peringatan keras: di balik janji-janji manis kerja ke luar negeri, masih ada jaringan gelap yang mengintai warga rentan. Dan bagi keluarga di Seluma, penantian terhadap keadilan masih terus berlanjut.*
Peliput: Freddy Watania






