TNews, OPINI – Drama politik di Paripurna KUA-PPAS DPRD Provinsi Bengkulu, Senin (24/11), memperlihatkan satu hal yang selama ini berusaha ditutup rapat oleh Partai Golkar: retaknya soliditas internal mereka di pucuk kekuasaan legislatif daerah. Surat Pergantian Antar Waktu (PAW) Ketua DPRD dari DPP Partai Golkar, yang semestinya menjadi prosedur administratif biasa, berubah menjadi simbol tarik menarik kepentingan dan manuver kekuasaan yang semakin sulit disamarkan.
Surat PAW yang ditandatangani Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia seharusnya menjadi prosedur administrasi yang sederhana. Namun di Bengkulu, surat tersebut justru terparkir berminggu-minggu tanpa kejelasan di meja Sekretariat DPRD Provinsi Bengkulu. Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa proses yang seharusnya berjalan otomatis justru terhenti?
Dari awal sidang, publik sebenarnya sudah melihat tanda-tandanya. Ketua DPRD Sumardi berusaha menghindari pembacaan surat masuk—sebuah prosedur yang tidak hanya formalitas, tetapi bagian penting dari transparansi lembaga legislatif. Namun keberadaan surat PAW itu seperti bayang-bayang yang terus menghantui ruang paripurna hingga akhirnya pecah melalui interupsi Samsu Amanah, rekan satu partainya sendiri.
Di sinilah pangkal persoalan mulai tampak jelas: Golkar tidak sedang berbicara dengan satu suara. Ketua DPD Partai Golkar Bengkulu terpilih, Samsu Rahman, dinilai tidak menunjukkan ketegasan dalam mengawal rekomendasi partai. Sikap pasif ini membuat konflik internal Golkar—yang melibatkan dua tokoh utama, Samsu Amanah dan Sumardi—tumbuh liar, meluas, dan akhirnya meledak di forum resmi DPRD.
Ketidaktegasan ini bukan hanya merusak marwah partai, tetapi juga mengalihkan beban politik itu kepada pihak yang seharusnya netral: Sekretaris Dewan Mustarani Abidin. Adegan ketika Sekwan tampak ragu, berdiri menunggu “izin ketua” untuk membaca surat PAW, memperlihatkan bagaimana konflik internal Golkar justru menjalar ke ranah birokrasi dan memaksa pegawai struktural menanggung tekanan politik yang bukan berasal dari kewenangannya.
Alih-alih meredam konflik, lambannya sikap dari Ketua DPD justru membuat beban politik bergeser ke Sekwan Mustarani, yang kini menjadi pihak paling disorot karena dianggap menahan proses PAW. Padahal akar persoalannya terletak pada tarik-menarik internal Golkar yang tidak segera diputuskan di tingkat kepemimpinan partai.
Ketika interupsi beruntun muncul dari berbagai fraksi—Demokrat, NasDem, PDIP, hingga Gerindra—publik bisa melihat dengan jelas bahwa persoalan ini sudah keluar dari ranah Golkar dan mulai menggerus kredibilitas kelembagaan DPRD. Paripurna yang seharusnya membahas KUA-PPAS berubah menjadi panggung perebutan legitimasi dan kekuasaan.
Sementara itu, Samsu Rahman memilih bungkam. Hingga sidang berlangsung, ia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan publik maupun klarifikasi media. Sikap diam ini bukan lagi bentuk kehati-hatian politik, melainkan kelambanan yang memperburuk situasi dan memberi ruang bagi konflik internal untuk berkembang tanpa kendali.
Bagaimanapun, PAW Ketua DPRD bukan sekadar surat. Ia adalah representasi keputusan tertinggi partai yang wajib dihormati oleh struktur di bawahnya. Ketika keputusan tersebut justru tertahan, diperlambat, atau dibiarkan terombang-ambing, publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi?
Selama Ketua DPD Golkar Bengkulu tetap bungkam, konflik ini tidak akan mereda. Golkar Bengkulu akan terus berjalan pincang—bukan karena kurang kader, tetapi karena terlalu banyak manuver dan terlalu sedikit kepemimpinan.
Vox Populi VD
Di mana suara publik menemukan nadanya, dan politik tak lagi bisa bersembunyi.*
Oleh : Freddy






