TNews, OPINI – Sebuah Catatan Opini atas Prioritas, Kebijakan, dan Bantuan Kemanusiaan yang Sering Tidak Sesuai Kebutuhan Korban Bencana.
Gelombang bencana yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir sekali lagi membuka tabir rapuhnya kesiapsiagaan tanggap darurat kita. Di tengah kerusakan infrastruktur, longsor, gelombang pengungsian, dan suplai logistik yang tersendat, muncul pertanyaan yang mengemuka dari publik: apa sebenarnya kebutuhan paling mendesak bagi para penyintas? Apakah ratusan ambulans benar-benar menjadi prioritas?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan, tetapi sangat penting, karena berkaitan langsung dengan efektivitas kebijakan penanganan bencana. Di Indonesia, bencana sering berjalan beriringan dengan praktek simbolik—bantuan yang tampak besar dari luar tidak selalu menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Kebutuhan Korban Bencana Bukan Sekadar Apa yang Bisa Dikirim, Tetapi Apa yang Diperlukan
Jika membaca pola di berbagai bencana besar sebelumnya: tsunami Aceh 2004, gempa Padang 2009, banjir bandang Wasior, gempa Lombok 2018, gempa Palu 2018, dan gempa Cianjur 2022, maka terlihat pola yang konsisten: penyintas membutuhkan empat hal utama pada fase awal:
1. Air Bersih dan Sanitasi
Kebutuhan paling krusial dalam 24–72 jam pertama bukan ambulans, bukan tenda, bukan pula makanan instan, tetapi air bersih.
Tanpa air bersih, penyakit diare, infeksi kulit, dan dehidrasi cepat merebak di kamp pengungsian.
2. Pangan Siap Saji dan Dapur Umum
Dalam kondisi infrastruktur rusak dan listrik padam, makanan siap saji jauh lebih berguna dibanding bantuan mentah seperti beras dan mi instan. Yang dibutuhkan adalah kemampuan memasak, bukan sekadar bahan makanan.
3. Tenaga Medis dan Layanan Kesehatan Darurat Sederhana
Yang paling dibutuhkan bukan banyak ambulans, tetapi tenaga medis keliling, obat-obatan dasar, dan pos kesehatan portabel.
Banyak luka korban penyintas bencana adalah luka ringan, infeksi, penyakit saluran pernapasan, dan trauma psikologis, semua ini tidak memerlukan transportasi ambulans, tetapi memerlukan pelayanan dekat lokasi pengungsian.
4. Koordinasi Logistik dan Informasi
Sering kali bantuan menumpuk di bandara, pelabuhan, atau gudang. Bukan kurangnya barang yang menjadi masalah, tetapi buruknya koordinasi distribusi.
Tanpa manajemen logistik, bantuan yang paling dibutuhkan menjadi terlambat, sementara bantuan yang tidak relevan justru membanjir.
Dalam Konteks Ini, Apakah Ambulans Masih Prioritas?
Ambulans tentu dibutuhkan, tetapi bukan dalam jumlah ratusan.
Ambulans sangat membantu pada fase awal evakuasi korban yang terjebak reruntuhan atau membutuhkan rujukan ke fasilitas kesehatan yang masih berfungsi. Namun setelah fase golden hour berlalu, kebutuhan bergeser ke bentuk lain:
layanan kesehatan stasioner, manajemen pengungsian, pemulihan psikososial, air dan sanitasi, logistik jangka panjang.
Ambulans bukan jawaban untuk masalah penyintas yang tinggal di tenda, tidur dalam dingin, kesulitan mandi, atau tidak bisa memasak.
Ambulans dari Bengkulu: Solidaritas Penting, tetapi Harus Tepat Sasaran
Bantuan ambulans dari Bengkulu menunjukkan semangat gotong-royong antardaerah yang patut diapresiasi. Namun bantuan kemanusiaan tidak boleh berhenti pada simbol solidaritas. Ia harus berdiri di atas prinsip evidence based humanitarian response.
Pertanyaan kebijakannya adalah:
Apakah ambulans itu digunakan optimal di lokasi bencana?
Apakah telah dipetakan jumlah fasilitas kesehatan rujukan yang masih bisa beroperasi?
Apakah kebutuhan lain justru lebih mendesak tetapi belum terpenuhi?
Setiap ambulans membutuhkan sopir, BBM, kejelasan rute, dan fasilitas kesehatan tujuan. Tanpa itu, ambulans akan menjadi kendaraan parkir tanpa fungsi strategis.
Ironisnya, di beberapa bencana sebelumnya, ambulans bantuan daerah lain justru lebih banyak mengantar bantuan pejabat atau menjadi alat dokumentasi kehumasan instansi.
Ini menunjukkan mengapa pengiriman bantuan harus didesain secara profesional, bukan impulsif.
Kebutuhan Paling Mendesak untuk Penyintas Bencana Sumatera Saat Ini
A. Kebutuhan Dasar Mendesak
* Air bersih, tangki air, dan filter portabel
* Dapur umum lapangan
* Tenda tahan hujan dan alas tidur
* Selimut, pakaian dalam bersih, popok bayi
* Obat-obatan dasar (analgesik, antiseptik, antibiotik ringan)
B. Layanan Kesehatan Berbasis Komunitas
* Posko kesehatan keliling
* Layanan trauma healing
* Pemulihan gizi dan layanan ibu/anak
C. Infrastruktur Pendukung
* Perbaikan akses jalan darurat
* Genset dan penerangan malam hari
* Toilet portabel dan bak penampung limbah
D. Data dan Koordinasi Terpadu
Kebutuhan yang sering luput tetapi sangat vital: satu komando informasi.
Korban sering kebingungan karena:
* posko berbeda memberikan informasi berbeda,
* bantuan datang tidak merata,
* sistem pelaporan kerusakan tidak terpadu.
Lebih Banyak Kebijakan, Lebih Sedikit Seremoni
Bencana seharusnya menjadi ruang untuk menjernihkan prioritas negara dalam penanganan krisis. Kita tidak boleh terus terjebak dalam tradisi seremoni bantuan atau pencitraan empati. Yang jauh lebih penting adalah:
perencanaan logistik yang ilmiah, komando lapangan yang jelas, distribusi bantuan yang efisien, prioritas kebutuhan yang tepat.
Ambulans adalah simbol kesiapsiagaan, tetapi kebutuhan penyintas jauh lebih kompleks, lebih manusiawi, dan lebih mendesak daripada sekadar panjangnya konvoi kendaraan dinas bantuan.
Penutup: Solidaritas Harus Berbasis Akal Sehat
Kita patut bangga atas semangat saling bantu antardaerah, termasuk dari Bengkulu.
Tetapi solidaritas tanpa perhitungan kebutuhan sering berakhir menjadi beban, bukan penyelamat.
Korban bencana tidak membutuhkan seremoni.
Mereka membutuhkan air, makanan, kesehatan, sanitasi, dan keamanan.
Dan sebelum semua itu, mereka membutuhkan negara yang hadir dengan tindakan, bukan simbol.*
Oleh: Vox Populi VD






