TNews, REJANG LEBONG — Gelombang ketidakpuasan yang berbulan-bulan terpendam itu akhirnya menemui jalannya. Senin pagi, 1 Desember 2025, halaman Gedung DPRD Rejang Lebong berubah menjadi ruang dengar publik. Seratus dua kepala desa, lengkap dengan keluhan dan kegelisahan mereka, berdiri di bawah langit keruh sambil membawa satu tuntutan: cabut PMK 81/2025.
Di balik aksi yang dijaga ketat personel Polres Rejang Lebong itu, mengendap persoalan yang lebih besar dari sekadar lambannya penyaluran Dana Desa. Bagi para kepala desa, aturan baru itu bukan hanya sekumpulan pasal teknis; ia adalah pengetatan kewenangan yang membuat desa kehilangan daya menentukan arah pembangunannya sendiri.
Rombongan APDESI Rejang Lebong diterima Ketua Komisi I DPRD, Hidayatullah, bersama anggota. Di ruang sidang yang hangat, Kepala Dinas PMD dan Asisten Pemkab turut menyimak denyut keluhan yang sama: desa-desa kehabisan napas anggaran, sementara aturan pusat menutup hampir semua celah.

“Tidak Akan Cair”
Isyarat paling telak datang dari Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Rejang Lebong, Bambang Pujo, mengonfirmasi bahwa dana non-earmarked—pos yang selama ini memberi ruang fleksibilitas bagi desa—dipastikan tidak akan cair.
“Kalau mengacu pada PMK 81, tidak ada lagi harapan bagi desa untuk pencairan dana non-earmarked tahun ini,” ujarnya, Jumat (28/11).
Pernyataan itu jatuh seperti palu. Desa-desa yang sudah menyelesaikan kegiatan hingga 100 persen menggunakan dana non-earmarked tiba-tiba tak memiliki pintu masuk untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan yang sudah berjalan. Solusi sementara yang disodorkan: efisiensi, perubahan APBDes, dan menutup lubang defisit dari kegiatan lain yang belum dilaksanakan.
Administrasi yang Mencekik
Di depan para legislator, Sekretaris APDESI Rejang Lebong, Projo—juga Kepala Desa Air Meles Bawah—mengurai akar keresahan itu.
“Desa dianggap tidak memenuhi syarat administratif yang terlalu kaku. Akibatnya, banyak Dana Desa yang tidak tersalurkan. Ada yang terlambat berbulan-bulan, ada pula yang sama sekali tidak menerima,” katanya.
Ia menyebut kewenangan desa kini terpangkas. Program strategis yang seharusnya dirumuskan lewat Musyawarah Desa, justru tersisih oleh daftar instruksi pusat yang tak memungkinkan adaptasi kebutuhan lokal.
“Kami sudah banyak terutang, sementara Dana Desa tahap dua tidak ada kejelasan,” ujarnya lirih.
Seruan dari Halaman DPRD
Tuntutan yang mereka bawa dirumuskan dalam empat pokok:
1. Mencabut PMK 81/2025.
2. Mengembalikan kewenangan desa melalui Musyawarah Desa.
3. Menyederhanakan proses penyaluran Dana Desa.
4. Membangun relasi yang setara antara pemerintah pusat, daerah, dan desa.
APDESI menegaskan aksi ini bukan gertakan politik, melainkan seruan korektif. “Kami tidak melawan,” kata salah satu kepala desa. “Kami hanya ingin kebijakan yang memihak kenyataan di lapangan.”
Gelombang protes dipastikan tak berhenti di Rejang Lebong. Pada 8 Desember mendatang, ribuan kepala desa dari berbagai daerah dijadwalkan berkumpul di Jakarta, membawa nada yang sama: desa meminta haknya kembali.*
Pewarta: Freddy Watania







