TNews, JAKARTA – Sejak Abad Pertengahan hingga awal abad ke-9, perempuan di dunia tidak mendapatkan status dan hak yang setara serta dilindungi oleh hukum atau pun undang-undang. Perempuan disamakan dengan komoditas dan menjadi masyarakat kelas dua di bawah kaum pria. Aktivitas perempuan terbatas pada pekerjaan rumah tangga, memasak, menjahit, dan membesarkan anak.
Namun di zaman modern ini, perempuan keadaan tersebut mengalami perubahan. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, perempuan ditegaskan bahwa status dan haknya sama dengan laki-laki, penduduk, dan warga negara Republik Indonesia. Perjalanan serta perjuangan jauh yang menyetarakan status dan hak-hak perempuan.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menekankan status perempuan Indonesia dalam rangka ikut serta dalam gerakan pembangunan, yaitu pembangunan secara menyeluruh menuntut partisipasi sebesar-besarnya laki-laki dan perempuan di segala bidang. Dalam konteks ini, perempuan memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berpartisipasi dalam kegiatan di segala bidang.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan negeri ini mutlak. Perjuangan pembebasan perempuan pasca kemerdekaan tercantum dalam berbagai bukti nyata, baik dalam bentuk hukum maupun dalam kasus hukum Mahkamah Agung. Semuanya menunjukkan bahwa status perempuan di mata hukum Indonesia berubah dengan cepat saat ini dan kemajuan positif.
Sukma Violetta, Wakil Ketua Komisi Yudisial, menyampaikan bahwa peran perempuan dalam penegakkan hukum dan penyelenggaraan Negara merupakan suatu upaya penting dalam mencapai keadilan tertinggi (ultimate justice). Hal ini dia sampaikan dalam sambutannya pada acara diskusi “Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga/Aparat Penegak Hukum: Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara” yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial tahun 2018 lalu dalam rangka memperingati Hari Kartini.
Di tengah representasi perempuan dalam penegakkan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan yang belum ideal, emansipasi adalah tuntutan yang wajar dan rasional karena banyaknya distorsi. Sukma juga memaparkan sejumlah data mengenai representasi perempuan pada beberapa instansi pemerintahan yakni pada legislatif dengan rentang 17,3% di Dewan Perwakilan Rakyat dan 27% di Dewan Perwakilan Daerah, 8 menteri perempuan yang menjabat di kabinet pemerintahan, 30% perempuan di kejaksaan, dan 133 pegawai perempuan di KY. Dari 1473 laporan yang masuk ke Komisi Yudisial sepanjang 2017, tidak ada laporan kasus yang secara langsung membahas permasalahan perempuan berhadapan dengan hukum.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, pada kesempatan yang sama mengakui bahwa gerakan perempuan saat ini semakin meningkat. Trennya memang sudah terlihat sejak reformasi di mana pengarusutamaan gender memiliki peluang yang lebih leluasa di publik.
Walaupun terus meningkat, representasi perempuan di politik dan lembaga negara masih jauh dari ideal. Undang-Undang ‘paket politik’ selama 2004-2014 dianggapnya belum mampu untuk meningkatkan peran perempuan secara proporsional dan representatif di politik. Secara kuantitatif hal ini terlihat pada hasil pemilihan umum 2009 dan 2014.
Pada pemilu 2009, hanya ada 18% perempuan yang menjadi anggota DPR dan 29% anggota DPD. Pemilu 2014 representasi perempuan justru menurun pada angka 17% untuk DPR, 28% di DPD, dan 16-17% perempuan pada lembaga perwakilan di daerah.
Oleh karena itu, GKR Hemas menekankan perlunya memikirkan kembali strategi yang dapat memastikan bagaimana perempuan, terutama di daerah, agar mau menjadi representasi dan bisa menjadi representasi yang efektif bagi perempuan lainnya.
Secara keseluruhan, pengarusutamaan perspektif gender ke dalam politik Indonesia menghadapi empat tantangan. Pertama, secara umum diterima dalam politik bahwa tindakan politik sementara hanyalah anugerah. Kedua, partisipasi partai politik (parpol) dalam menyelesaikan persoalan perempuan belum tinggi, hal ini terlihat dari struktur elit parpol yang masih didominasi oleh laki-laki dan banyak yang belum mempertimbangkan gender dalam pengambilan keputusan internal.
Ketiga, masih perlunya peningkatan kualitas kader perempuan, karena aksi politik temporer ini tidak kosong, tetapi untuk mengatasi ketimpangan gender, diperlukan beberapa perwakilan perwakilan perempuan yang efektif untuk memastikan. Pejabat pemerintah yang kurang berintegritas sendiri merupakan tantangan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap jabatan politik perempuan.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti juga menjelaskan peran kompolnas sebagai pengawas independen dan berperan dalam penegakan hukum yang berperspektif gender melalui dorongan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Poengky menuturkan bahwa dalam rekam jejak penegak hukum memiliki korelasi yang penting dalam penegakan hukum yang berperspektif Hak Asasi Manusia terutama dalam hal ini terhadap perempuan.
Kompolnas sejauh ini dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian Republik Indonesia memberikan penekanan terhadap rekam jejak yang dilihat dari aspek reward dan punishment yang diterima, Hak Asasi Manusia, dan korupsi. Selain itu, dinilai juga rekam jejak yang berkenaan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Reformasi sumber daya manusia tersebut juga didorong dengan meningkatkan jumlah perekrutan Polisi perempuan di mana hingga tahun 2017 tercatat ada 23.303 polisi perempuan dari total 421.259 anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Dari berbagai data di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasannya perempuan Indonesia memainkan peran penting di mata hukum dan dalam berbagai perannya, mulai dari tahap legislatif (UU) hingga penegakan hukum dan pengawasan penegakan hukum. Sumbangsih perempuan ini juga diawasi oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat terus diadakan perbaikan dan mencapai tujuan utamanya.
Sumber visual: Unsplash.com
Penulis: Azky D (Anggota Perempuan Indonesia Satu)