TNews SEJARAH – Menjelajahi situs makam-makam diaspora Tionghoa Indonesia jadi aktivitas yang menarik perhatian Philipus Dellian Agus Raharjo. Pecinta sejarah dan kaligrafis berusia 40 tahun itu sempat mengungkapkan perjalanannya di media sosial saat ke Mausoleum Keluarga Thio di kota kelahirannya, Semarang.
Rupanya, unggahannya itu menarik perhatian Bram Luska, pemilik restoran berusia 35 tahun. Luska selalu tertarik dengan karakteristik bangunan China itu, tetapi belum pernah menjelajahinya, seperti dilansir dari South China Morning Post, Selasa, 10 Agustus 2021.
Makam yang dibangun oleh taipan properti dan ekspor-impor China, Thio Sing Liong (1871-1940), adalah salah satu dari banyak jejak sejarah yang ditinggalkan oleh diaspora Tionghoa Indonesia dan sekarang menjadi situs warisan yang dilindungi.
Bersama Raharjo dan Luska, mereka mengunjungi makam dan memulai kolaborasi menjelajahi situs makam Tionghoa yang terlupakan di sekitar Semarang. “Batu nisan Tionghoa (di Indonesia dikenal dengan istilah Hokkian bongpay) bisa bercerita banyak tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia; keturunan mereka, bagaimana mereka hidup dan sebagainya. Kebanyakan orang mungkin menganggap kuburan mengerikan, tetapi saya pikir mereka menarik dengan apa yang harus mereka ungkapkan,” kata Luska.
Untuk perjalanan pertama mereka, pasangan itu menyelidiki tanah pemakaman di puncak bukit Bergota, Randusari Spaen. Di sana, beberapa kuburan China ditemukan tetapi tetap tidak dapat diidentifikasi karena kondisinya yang bobrok. Mereka bertekad untuk mendokumentasikan semuanya sebelum hilang dari anak cucu.
Dalam perjalanan, mereka juga berhasil menemukan kuburan China kuno. Bagian atas kuburan yang berbentuk punggung kura-kura telah dihancurkan dan terlihat jelas dari hangus yang terlihat di sana bahwa penduduk setempat menggunakan situs tersebut untuk membakar sampah mereka. Tapi identitas almarhum masih dapat diuraikan; seorang wanita bernama Thio Koen Tjie.
Mereka juga menemukan kuburan tua lain milik seorang pria dengan nama keluarga Thio juga. Yang membuat bingung Raharjo dan Luska adalah bahwa kedua kuburan itu memiliki penanggalan yang berbeda dari kebanyakan kuburan lain yang ditemukan di seluruh Indonesia.
Biasanya, kuburan Tiongkok kuno menganut sistem penanggalan kekaisaran, di mana nama kaisar dan tahun pemerintahannya akan diukir di nisan untuk menandai tanggal kematian. Tapi kedua kuburan Thio ini tidak memiliki rincian seperti itu.
Makam Misteri
Dr Claudine Salmon, pakar pemakaman Tionghoa di Indonesia dari Prancis, mengatakan penghilangan detail kekaisaran “sering digunakan ketika seseorang tidak ingin merujuk pada dinasti atau jenis penghitungan lain, seperti era Kristen, atau tahun Masehi berdirinya Republik Tiongkok”.
Dilihat dari prasasti di makam yang ditemukan, dia percaya sistem penanggalan yang digunakan di sini didasarkan pada siklus 60 tahun. Kelemahan dari sistem seperti itu adalah tidak mungkin untuk menentukan tanggal makam secara akurat.
Pencarian pertama mereka juga menghadirkan momen yang mengharukan bagi Raharjo dan Luska. “Ketika kami sedang mendokumentasikan makam Thio kedua, seorang pria tiba-tiba muncul dan bertanya apa yang kami lakukan di sana. Katanya mau meruntuhkan kuburan tua itu karena belum pernah dikunjungi siapapun,” kenang Raharjo.
Baik dia dan Luska tercengang dan menjelaskan pentingnya kuburan tua untuk pelestarian sejarah dan mendesak pria itu untuk mempertimbangkan kembali. Pria itu akhirnya setuju untuk memikirkan masalah ini.
Keberhasilan pencarian kuburan Raharjo dan Luska akhirnya menarik beberapa orang lain untuk bergabung dengan mereka dalam perjalanan berikutnya. Kedua pria itu juga telah menemukan peran khas mereka.
Luska menyerahkan Raharjo untuk membaca tulisan di batu nisan yang kebetulan mereka temukan karena ia tidak menguasai aksara China. “Saya bisa membaca Hanzi karena saya belajar bahasa Jepang dan kedua bahasa itu memiliki banyak ideogram. Tapi sampai hari ini saya tidak menganggap diri saya fasih berbahasa Mandarin karena saya masih kesulitan dengan pengucapan,” kata Raharjo.
Berhubungan dengan Warisan
Luska sering memilih situs tujuan mereka. Sejauh ini instingnya telah terbayar dan tim telah menemukan lokasi banyak kuburan China yang sampai sekarang tidak diketahui di Semarang.
Sebagai orang Tionghoa, ia percaya bahwa penting untuk berhubungan dengan warisannya. “Saya merasa kami berdua telah dipandu dalam perjalanan kami untuk mencari kuburan tua. Ada banyak kebetulan yang terasa seperti sinkronisitas. Kami sering memulai dengan tidak banyak informasi, tetapi akhirnya menemukan sesuatu yang menarik.”
Ia mengingat pengalaman yang mendalam ketika ia melihat sebuah prasasti yang didirikan pada 1912 oleh Tuan Liem di sebuah situs pemakaman yang mengingatkan generasi China masa depan untuk tidak pernah melupakan budaya mereka. “Kunjungan ini terasa spiritual bagi saya. Saya selalu membakar dupa dan memberi penghormatan kepada leluhur sebelum memulai perjalanan.”
Pencarian bongpay Tiongkok kuno yang dimulai oleh kedua pria itu telah menciptakan jaringan sukarelawan dan pecinta sejarah yang kini mengawasi informasi baru atau penampakan kuburan tak berdokumen.
Mereka juga berharap dapat meyakinkan pemerintah untuk menyatakan beberapa temuan terpenting mereka sebagai situs warisan nasional untuk melindungi mereka dari kerusakan atau perusakan lebih lanjut. “Tidak mudah untuk mendapatkan pengakuan resmi untuk situs-situs ini, tetapi patut dicoba,” kata Luska.
Sumber : detik.com