TNews, SEJARAH – Selembar surat tiba di meja Kepala Staf Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo di Markas Resimen Para Komando Angkatan Darat, Cijantung, 1964. Pengirim surat itu adalah Komandan Batalion I Mayor Leonardus Benyamin “Benny” Moerdani.
Seusai membaca surat itu, raut muka Sarwo berubah. Isi surat tersebut berisi soal ungkapan Benny yang merasa kurang puas terhadap kebijakan pimpinan RPKAD.
“Is, ini ada surat lagi dari Benny soal kebijakan pimpinan RPKAD.”
“Ada apa?”
“Biasalah, Benny merasa kurang puas. Dia mengharapkan saya menyampaikan ini”
“Apa salah Mung?”
“Enggak tahulah. Ini isi suratnya begini.”
Dikutip dari buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Rais Abin, rekan Sarwo sesama perwira di pelatihan di Australia, menceritakan kembali percakapannya dengan Sarwo Edhie hari itu.
“Saya masih ingat. Isi suratnya menyampaikan ketidaksenangan Benny soal situasi di RPKAD di bawah pimpinan Mung,” ujar Rais.
Sarwo baru saja pulang dari The Australian Army’s Staff College di Australia. Lalu, ia mengajak Rais untuk mendatangi Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediamannya di Menteng. Sarwo mencerita kan persoalan itu dengan sangat rinci.
“Sarwo, kamu bereskanlah itu RPKAD,” perintah Yani, yang saat itu menjabat Menteri/ Panglima Angkatan Darat.
Saat itu, Resimen berada di bawah komando Kolonel Mung Parhadimulyo. Mung dikenal sebagai perwira yang keras wataknya. Ia berseteru dengan Benny, bawahannya. Konflik mencuat gara-gara urusan uang.
Mung memprotes kepada Yani karena Benny dan Detasemen Pasukan Khusus dibekali gulden saat operasi pembebasan Irian Barat. Saat memimpin konfrontasi dengan Malaysia, Benny mengantongi dolar Amerika. Mung mendesak agar dia ikut mengontrol fulus berjumlah besar itu. Tapi Benny menolak.
Perseteruan memuncak ketika Benny memberikan kompensasi kepada prajurit yang tewas atau cacat seusai operasi Irian Barat. Salah satu korbannya adalah Letnan Agus Hernoto, yang kehilangan kaki. Meski cacat, Agus diberi pekerjaan administratif di Resimen.
Tidak suka terhadap kebijakan Benny, Mung memukul balik. Dalam rapat perwira pertengahan Desember 1964, dia memerintahkan semua prajurit cacat dikeluarkan dari Resimen.
Benny sangat marah. Dia mengkritik keputusan sang Kolonel secara terbuka. Setelah rapat itu. Benny meninggalkan Jakarta untuk berbulan madu dengan istrinya, Hartini. Mung marah terhadap tindakannya itu, tapi ia tidak memberikan sanksi.
Sebetulnya, Yani tidak heran terhadap laporan Sarwo, sebab Benny pernah berkeluh-kesah kepadanya. Waktu itu, Yani bertanya siapa perwira yang cocok menggantikan Mung karena ada dua letnan kolonel di Resimen, yaitu Sarwo Edhie Wibowo dan Widjojo Soejono. Benny memilih Widjojo. “Saya lebih enak berhubungan dengan Pak Jono,” kata Benny.
Benny lupa, Yani merupakan kawan seperjuangan Sarwo Edhie Wibowo di Jawa Tengah. Sebagai panglima, Yani menilai pembangkangan Benny fatal.
Benny diperintahkan menghadap Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto. “Sana kamu menghadap Mas Harto,” kata Yani.
Akhirnya, Benny ditendang dari RPKAD. Sedangkan Mung, dimutasi menjadi Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur.
Pemenang dalam perombakan itu tentu saja Sarwo Edhie Wibowo. Dia dilantik sebagai Komandan RPKAD yang baru, tepatnya pelaksana harian dan pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
“Sebetulnya sudah ada gerakan memplot. Sarwo sebagai komandan,” kata Rais.
Kemudian, Letnan Kolonel Prijopranoto, lulusan Fort Benning angkatan 1960, diangkat menjadi kepala staf untuk menggantikan Sarwo.
Sumber : okezone