TNews, POLITIK – Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mewajibkan para menteri dan pejabat setingkat menteri yang hendak maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden di Pilpres 2024 mundur dari jabatannya.
“Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya; kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota,” bunyi Pasal 170 ayat (1) UU tentang Pemilu.
Menteri yang hendak maju sebagai capres atau cawapres wajib mundur paling lambat pada saat didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di KPU. Mereka harus menyertakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Hal ini sudah sesuai dengan pasal 170 ayat (2).
“Surat pengunduran diri sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik kepada KPU sebagai dokumen, persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden,” bunyi pasal 170 ayat (3).
Tak hanya menteri, UU Pemilu pasal 170 ayat (1) dalam bagian penjelasan juga mengatur pejabat negara lain yang harus mundur bila mereka hendak menjadi capres atau cawapres di Pilpres 2024.
Mereka adalah ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung pada Mahkamah Agung. Lalu, Ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc.
Kemudian ketua, wakil ketua, dan anggota pada Mahkamah Konstitusi, BPK dan Komisi Yudisial. Ketua dan wakil ketua KPK, kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh.
Pejabat negara yang tidak wajib mundur bila hendak nyapres hanya para mereka yang dipilih langsung oleh masyarakat. Seperti presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD dan para kepala daerah dari level provinsi hingga kabupaten/kota.
Khusus bagi kepala daerah yang dicalonkan untuk maju sebagai capres atau cawapres, tentunya harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden.
Bila presiden dalam waktu paling lama 15 hari belum memberikan izin, maka izin dianggap sudah diberikan.
“Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden,” bunyi pasal 171 ayat (4).
Sebagai informasi, Hatta Rajasa merupakan contoh seorang menteri yang mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju sebagai cawapres pada Pilpres 2014 lalu. Kala itu, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko Perekonomian era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Hatta Rajasa mengundurkan diri dari menteri karena memutuskan maju sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto di Pilpres 2014 lalu.
Direktur Ekseutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyanti mengamini bahwa menteri harus mundur bila hendak mencalonkan sebagai capres atau cawapres di Pilpres 2024.
Baginya, seorang menteri adalah pembantu presiden yang dalam menjalankan tugasnya harus fokus dan tidak boleh ada kepentingan apapun.
“Lalu menteri punya sumber daya, punya program, kalau mereka maju sebagai capres bisa berpotensi memanfaatkan program-program yang ada di kementeriannya,” kata Khoirunnisa.
Sumber: cnnindonesia.com