TNews, Bitung – Walaupun terkesan subyektif dan menyerang secara individu, pernyataan Herry Rumawung yang menyebutkan “Dorang itu Sompotan laeng” yang termuat dalam pemberitaan salah satu media beberapa waktu silam, tak diduga mendapat tanggapan sukacita Frans Mawikere salah satu ahli waris Lontoh Elias Sompotan.
Kepada Totabuan,News Jumat (14/10/2022) Frans mengungkapkan bahwa apa yang disampaikan Herry Rumawung dalam pemberitaan itu adalah benar dan faktanya memang berbeda dari yang lain. Perbedaan ini kata Frans, bahwa Lontoh Elias Sompotan yang berjuang dan berunding dengan kesultanan Ternate untuk memisahkan wilayah Minahasa dan Ternete, pada usia 27 tahun menjabat hukum tua pertama negeri Bitung yang diakui pemerintah Belanda.
“Butul no, torang Sompotan laeng. Depe laeng sesuai fakta juga hanya Lontoh Elias Sompotan yang ada monumen di Kauditan. Bahkan hanya Emor Sompotan anak dari Lontoh Elias Sompotan yang bisa mendirikan gedung bioskop pertama kali di Bitung. Hanya paman saya Emor Sompotan yang mampu membeli mobil sedan Merceds Bens dan ini fakta,” ungkap Frans.
Selanjutnya Frans bertutur hal yang lain bahwa pada era tahun 1970an pamannya, Emor Sompotan ketika berkendara dengan mobil Datsun warna putih sering disebut orang “Tuan tanah Bitung, itu yang lewat”. “Apakah ada yang orang lain yang sering dikatakan Tuan tanah Bitung selain Emor Sompotan ?,” ujar Frans
Frans kemudian ingat bahwa pamannya Emor Sompotan pernah memberikan keleluasaan penggunaan sebidang tanah yang saat ini berada di depan Kantor Walikota Bitung, untuk dijadika lapangan oleh raga Sepak Bola yang dahulu di kenal dengan nama Plein Maesa.
Hal yang menggembirakan Frans, ketika disebut Sompotan Lain dan tentunya membedakan dengan oknum, yang sering mengaku sebagai pemilik beberapa lahan di kota Bitung, adalah garis keturuanan yang jelas dari Lontoh Elias Sompotan yang kemudian menurun hingga Martha K Sompotan, ibu Frans Mawikere.
“Adalah fakta bahwa Lontoh Elias Sompotan merupakan cucu menantu dari Timani Simon Tudus sebagai Timani Negeri Bitung. Lontoh Elias Sompotan menikah dengan Elizbeth Karuntu cucu asli Simon Tudus, yang membawa Harta/Tanah warisan dari ibunya Mitji Tudus (Anak dari Simon Tudus). Mitji Tudus menikah dengan Johan Karuntu. Tak heran kami sebagai ahli waris memiliki sejumlah besar lahan di kota Bitung, seperti di sebutan Padang Pasir yang sebagian sudah di bangun Tol dan juga tanah di pasar Cita,” beber Frans.
Mengenai klaim tanah yang disebut tanah Sompotan sebenarnya adalah tanah harta warisan dari Mitji Tudus (cucu Simon Tudus) yang kemudian diwariskan kepada anaknya Elizabeth Karuntu yang kemudian menikah dengan Lontoh Elias Sompotan.
“Tanah warisan Elizabeth Karuntu yang menikah dengan Lontoh Elias. Sompotan inilah, yang kemudian diwariskan kepada 3 (tiga) orang anak mereka yakni Emor Sompotan, Jan D.Sompotan dan Martha K.Sompotan ini, Sehingga kami menilai sangat wajar ketika ada yang menyebutkan bahwa kami adalah “Sompotan Laeng”. Bahkan hal yang lain dan membedakan kami dengan oknum yang ngaku-ngaku adalah hanya Lontoh Elias Sompotan yang pernah jadi Kepala Kehutanan wilayah Bitung,” tegas Frans yang saat ini berdomisi di provinsi Gorontalo.
Secara khusus kepada Herry Rumawung, Frans mewakili ahli waris Lontoh Elias Sompotan menyampaikan terima kasih dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa ahli waris Frans Mawikere dan saudara yang lain adalah Sompotan LAENG, sebab memang adalah fakta.
“Salam hormat saya pada Om Rumawung yang sudah menyatakan bahwa kami Sompotan LAENG. Banyak fakta yang mendukung bahwa, kami ahli waris keturunan Lontoh Elias Sompotan dan Elizabeth Karuntu, memang berbeda dengan yang lain,” ucap Frans sambil tersenyum.
Berbicara tentang 6 Dotu Tanjung Merah yang sedang disebutkan untuk menghambat perjuangan pihak ahli waris Lontoh Elias Sompotan memperoleh haknya, Frans mengatakan dirinya beserta ahli waris lainnya dari Lontoh Elias Sompotan, sebagai keturunan Leluhur/Pendiri Negeri Bitung, sangat menghormati 6 Dotu Tanjung Merah, apalagi 6 Dotu Tanjung Merah sudah mempunyai kekuatan hukum sejak Tahun 1980an.
“Kami menghormati 6 Dotu yang telah memiliki kekuatan hukum sejak tahun 1980, sebab leluhur saya tidak mempunyai kekuatan Hukum. Karena pada Era tahun 1890an saat itu, tentu belum terpikirkan untuk mengurus BadanHukum. Itupun kami sebagai ahli waris dan juga orang-orang yang hidup pada masa itu, menghormati leluhur kami, walaupun mereka tidak berbadan Hukum. Sekali lagi saya tegaskan, kami sangat menghormati 6 Dotu Tanjung Merah, karena mereka adalah para leluhur yang bijaksana,” ungkap Frans. (Penulis Meiyer Tanod)