TNews, BUDAYA – Kota Sukabumi memiliki perjalanan panjang dengan Tionghoa. Hubungan keduanya menciptakan akulturasi budaya yang beragam, mulai dari moci yang resmi jadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Jabar, hingga Barongsai dan pertunjukan Cap Go Meh saat perayaan Imlek.
Dari segi bangunan, Kota Sukabumi juga memiliki Vihara Widhi Sakti, vihara tertua di Sukabumi yang dibangun 1909. Beberapa tahun ini, sebagian besar etnis Tionghoa di Kota Sukabumi telah membaur dengan masyarakat asli Sukabumi.
Sebagai bentuk toleransi beragama sekaligus wisata edukasi, sebuah Museum Tionghoa Sukabumi berdiri di antara ruko-ruko Danalaga Square, tepatnya di Jalan Pajagalan, Kelurahan Nyomplong, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan, museum itu diresmikan oleh Wali Kota Sukabumi pada Februari lalu. Di dalamnya terdapat dua sesi museum yaitu museum Tionghoa dan museum sejarah Kota Sukabumi.
“Kalau isi koleksinya sebenarnya ada dua bagian. Satu museum Tionghoa, barang-barang koleksi tentang Tionghoa dan sejarah Tionghoa. Satu bagian lagi Galeri Dapuran Kipahare ada arsip dan galeri militer,” kata Irman kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, sejarah Tionghoa di Sukabumi sudah berlangsung sejak zaman kerajaan. Selain itu, museum itu juga menunjukkan keberagaman agama ditandai dengan adanya penggabungan museum sejarah Kota Sukabumi, vihara dan musala.
“Ini sebetulnya tempat terbuka yang kita buat sebagai ruang keberagaman bersama sehingga siapapun boleh datang, saling mempelajari sejarah Sukabumi dan Tionghoa,” ujarnya.
Koleksi yang paling menarik di dalam museum yaitu rebab China, alat pembuat mochi dan obat, arsip tandatangan Wali Kota Sukabumi zaman Belanda, kalender tahun 1940 dan lain-lain. “Ada replika, mungkin hanya sekitar 30 persen dan 70 persen asli semua. Kebanyakan yang berhubungan dengan sejarah Sukabumi,” ucapnya.
Sejauh ini masyarakat luar kota sangat antusias untuk mendatangi Museum Tionghoa Sukabumi. “Justru yang lebih penasaran ke sini dari luar kota seperti Jakarta, Tangerang, Swedia dan dari luar negeri juga ada,” sambungnya.
Museum tersebut dibuka setiap hari kecuali hari Jumat dari jam 09:00 WIB sampai 16:00 WIB dengan tiket hanya Rp 5 ribu.
Salah satu siswa asal SMK 1 Gegerbitung Lina mengatakan baru pertama kali datang ke museum tersebut. Dia merasa penasaran karena bentuknya yang unik ditambah tiketnya yang murah. “Sengaja datang ke sini karena penasaran dan sering juga lewat jadi penasaran. Terjangkau sih buat siswa. Bagus banget malah, baru tahu karena baru masuk,” kata Lina.
Sekilas tentang pengaruh Tionghoa terhadap sejarah Nasional, Irman menerangkan, Tionghoa pertama kali memulai perjalanannya dengan membuka perkebunan teh China di Sinagar Cibadak. Sosok di balik pendirian perkebunan teh itu adalah Tan Soeij Tiong, ia memiliki kontrak pada 29 Juli 1843 dengan bantuan pengelolaan oleh Sem Tjiak dan Sem Giok Seeng.
Perkenalan tanam teh juga dimanfaatkan oleh Dey Kiat Ho Sia, putra dari Oey Dji San. Tuan tanah tersohor dari Karawaci yang menyewa lahan perkebunan di Desa Benda, Cicurug dan ditanami teh secara massal.
“Pada awal tahun 1880 saja sudah banyak perkebunan di Sukabumi yang dimiliki oleh warga Tionghoa sampai tahun 1900-an sekitar 28 perkebunan termasuk juga 15 penggilingan padi,” kata Irman.
Menjelang akhir abad 19 banyak perkebunan milik orang Eropa di Sukabumi yang kemudian dibeli atau diambil alih oleh pengusaha Tionghoa. Di bidang perdagangan muncul nama Tan Tek Hay, dia adalah anak Tan Kim Hoe, kepercayaan Kerkhoven di Sinagar Cibadak.
“Dia memiliki Firma terbesar di Jawa dan Sumatera, selain itu ada Boen Hok Tjiong, yang memiliki Pabrik Tenun terbesar yaitu Tjiboenar di Cisaat,” sambungnya.
Sosok Tionghoa lain juga ikut berpengaruh dalam perkembangan percetakan di Tanah Air. Ia adalah Louw Tjeng Bie, pendiri Soekaboemische Snelpress Drukkerij. Ada juga yang menerbitkan koran Tionghoa berbahasa Melayu pertama di Indonesia, yaitu Oeij Djin Tjiang.
Sumber: Budayasunda.com