TNews, Jakarta – Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan senantiasa mencatatkan defisit keuangan setiap tahun sejak lembaga tersebut didirikan per 2014 silam. Berbagai aturan telah diupayakan pemerintah demi mengatasi defisit tersebut. Salah satunya ialah dengan menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan kepada seluruh pesertanya. Lalu, sebenarnya apa yang membuat BPJS Kesehatan tak kunjung mencapai surplus meski telah diupayakan berbagai solusi?
Menurut Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar salah satu penyebab defisitnya keuangan BPJS Kesehatan sebab sejak awal didirikan pemerintah sudah keliru mematok besaran iuran, yang ditetapkan terlalu rendah (underprice). “Dari sisi penerimaan, harga iuran untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) itu sejak 2014 sudah tidak sesuai dengan hitungan aktuaria,” ujar Timboel kepada detikcom, Minggu (19/1/2020).
Timboel menjelaskan dalam hitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN), premi penerima bantuan iuran (PBI) idealnya ialah sebesar Rp 36.000 per bulan. Peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas I mencapai Rp 80 ribu, kelas II Rp 63 ribu, dan kelas III Rp 53 ribu per bulan. Adapun peserta penerima upah (karyawan) untuk potongan upah 6% dari gaji dan batas atas upah 6x pendapatan tidak kena pajak berkeluarga beranak satu.
Akan tetapi, dalam aturan pemerintah disebutkan peserta PBI dikenakan iuran Rp 23 ribu per bulan. PBPU kelas I mencapai Rp 80 ribu, kelas II Rp 53 ribu (kurang Rp 12 ribu), dan kelas III Rp 25.500 (kurang Rp 27.500). Adapun peserta penerima upah mendapatkan iuran 5% (kurang 1%) dan bata atas upah bayar Rp 8 juta. “Jadi dari hitungan aktuarinya yang tidak tepat itu sehingga tak heran pada 2014 saja langsung defisit Rp 3,3 triliun,” sambungnya.
Selain itu, banyaknya pihak swasta yang enggan mendaftarkan pegawainya menjadi peserta BPJS Kesehatan dan banyak pula perusahaan yang menunggak pembayaran iuran tersebut. “Potensi penerimaan dari TPU Swasta juga masih belum maksimal, karena banyak perusahaan yang belum mendaftarkan (karyawannya) dan dibiarkan. Padahal ada PP 86 Tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik (terhadap perusahaan yang tidak daftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS),” katanya
Dari segi, pengeluaran juga banyak mempengaruhi defisit tersebut. Salah satunya terkait rendahnya pengawasan pemerintah terhadap penetapan INA-CBG oleh pihak rumah sakit. INA-CBG merupakan sebuah singkatan dari Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah. “Kan ada 4 pos pembiayaan, satu pos INA-CBG saja itu sudah makan persentase 85% tuh,” ungkapnya.
Timboel mencontohkan pada 2017 rujukan secara nasional dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tercatat 12%, pada 2018 angka tersebut naik menjadi 15% artinya, dengan meningkatnya rujukan maka biaya jumlah INA-CBG turut meningkat. Seharusnya, FKTP dapat mencegah peningkatan tersebut dengan memperketat rujukan. Selanjutnya yang juga turut bermain atas terjadinya defisit itu adalah terkait tarif kapitasi, dana operasional, serta prefentif promotif.
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. “Juga karena kapitasi, lalu ketiga dana operasional yang cukup besar untuk gaji pegawai, direksi dan sebagainya, dan prefentif promotif yang kurang efisien sehingga masih banyak masyarakat yang masih sakit,” pungkasnya.
Sumber : detik.com