TNews, POLITIK – PDI Perjuangan mendorong fraksi-fraksi di DPR konsisten untuk mendukung Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Anggota Komisi VIII Fraksi PDIP DPR RI Diah Pitaloka meyakini RUU PKS akan mendapatkan dukungan untuk dilakukan pengesahan.
RUU PKS ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hanya saja di tengah perjalanan sempat dikeluarkan dari prioritas tahun 2020. RUU PKS rencananya akan dimasukan ke prioritas 2021.
“Saya yakin sekarang dukungan fraksi-fraksi di DPR makin menguat, semoga memang benar adanya. Tidak hanya di ruang populer tetapi juga di ruang legislasi. Artinya jangan di luar bicaranya oke mendukung, begitu pembahasan tiba-tiba mundur. Kita berharap ada konsistensi juga dari teman-teman fraksi pendukung,” ujar Diah dalam diskusi daring bertajuk ‘Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual’ pada Kamis (10/9).
Kapoksi PDIP di Komisi VIII berharap draf RUU PKS bisa cepat selesai. Agar bisa kembali diusulkan dalam proses legislasi di DPR. Draf ini juga mendapat dukungan dari kelompok masyarakat, akademisi, artis, hingga legislator terhadap RUU PKS.
“Kita berharap drafnya bisa cepat selesai, sehingga bisa segera kita usulkan di dalam proses legislasi di DPR. Kita harap itu bisa terjadi Oktober, sehingga September kalau bisa sudah ada selesai draf dan naskah akademiknya. Sehingga segera ada pra pembahasan di teman-teman DPR yang akan menjadi pengusul,” kata Diah.
Negara Harus Hadir Melindungi Korban
Sementara itu, Valentina Sagala dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS, menyatakan pihaknya sedang melakukan finalisasi draf RUU PKS yang akan diusulkan ke DPR.
Pihaknya mendefinisikan Perlindungan Kekerasan Seksual sebagai segala upaya mencegah, menangani, menyediakan perlindungan, memulihkan korban, menindak pelaku, memberikan rasa aman kepada korban, saksi, dan keluarga korban, dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
“Intinya mempertegas Negara hadir melindungi korban,” kata Valentina.
Selain itu, diusulkan juga sembilan jenis kekerasan seksual. Yakni pelecehan seksual; pemaksaan perkawinan; pemaksaan kontrasepsi; perkosaan; pemaksaan aborsi; eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.
Koalisi juga mengusulkan agar unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU ini lebih detail dibanding perumusan dalam RUU Hukum Pidana.
Contohnya, perkosaan dalam RUU Hukum Pidana mengatur unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
“Sementara dalam RUU ini unsur-unsurnya diperluas menjadi: kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” kata Valentina.
Sementara soal pemidanaan, pihaknya mengusulkan pidana pokok dalam wujud penjara, denda, kerja sosial, hingga pidana pengawasan. Serta ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dan pengampunan; pengumuman identitas pelaku; perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; pencabutan hak politik; pencabutan hak menjalankan pekerjaan; pencabutan jabatan atau profesi; pembayaran ganti rugi; dan pembinaan khusus. Juga ada usulan tindakan rehabilitasi khusus.
“Kami juga mengusulkan adanya ketentuan peralihan berisi pengaturan tindakan hukum yang sudah ada yaitu perkara Kekerasan Seksual yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan Undang-Undang yang mengaturnya,” kata Valentina.
Sementara KH Marzuki Wahid mengatakan setiap pemeluk Agama Islam pasti akan menolak kekerasan seksual. Maka dirinya merasa aneh jika ada WNI pemeluk Islam tak setuju pengesahan RUU PKS.
“Saya meragukan keislamannya. Karena semua orang Islam pasti mengharamkan kekerasan seksual, pasti. Kalau ada orang Islam tidak mengharamkan kekerasan seksual, saya malah mempertanyakan cara pandang keislamannya,” kata Marzuki.
Marzuki mengaku sudah membaca draf RUU PKS sejak yang dibuat tahun 2017 hingga yang ada saat ini. Baginya, substansi RUU itu sangat keren dan seharusnya segera disepakati lalu disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
“Sebab RUU ini mengatur mulai dari hulu sampai hilir, mulai pencegahan sampai pemulihan, dan bahkan hak-hak korban ada di situ. Kemudian penindakan pelaku juga ada, bahkan hukum acaranya juga ada. Dan menurut saya ini yang kita butuhkan. Yakni sebuah undang-undang yang berpihak kepada korban,” pungkasnya.
Sumber: merdeka.com