TNews, NASIONAL – Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai pemerintah dan DPR telah membohongi kalangan buruh terkait pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020). Ia mengaku sempat berkomunikasi dengan sejumlah anggota DPR dan wakil pemerintah terkait rencana pengesahan RUU Cipta Kerja. Tapi mereka selalu mengatakan RUU itu tak akan buru-buru disahkan.
“Saya beberapa kali bertemu dengan teman-teman dari DPR, pemerintah memang tidak ada dikatakan akan disahkan 8 Oktober. Mereka justru bilangnya tidak akan secepat itu, tidak terburu-buru banget. Ternyata justru dimajukan, dan itu membuat kita shock banget,” kata Elly saat ditemui di Kantor Sekretariat KSBSI di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Selasa (6/10/2020).
Ia mengaku tak habis pikir, kenapa mereka harus bohong seperti itu. “Okelah mereka bohong soal isi materinya tapi masak sampai tanggal pengesahan saja harus berbohong,” imbuhnya masygul.
Hal lain yang membuat Elly dan teman-temannya kecewa dan marah adalah pengesahan UU Cipta Kerja itu justru dilakukan ketika dua pemimpin kaum buruh, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea tengah memenuhi undangan Presiden Jokowi di Istana Negara.
“Ini ada apa, kenapa? Ketika pimpinan serikat buruh dipanggil ke Istana, tiba-tiba DPR dengan leluasa mengetok palu,” ujarnya.
Sejak kemarin sebagian buruh sudah berunjuk rasa dan melakukan aksi mogok menentang UU yang baru disahkan tersebut. Elly dan KSBSI juga akan menempuh perjuangan lain secara konstitusional, yakni mengajukan banding ke Mahkamah Konsitusi. “Kami akan judicial review ke MK, kami sedang mendalami dan mengkaji ulang pasal-pasal yang selama ini merugikan dan tak berpihak ke kalangan buruh,” ujar Elly.
Berbeda dengan Ibal dan Gani yang mundur dari Tripartit dalam pembahasan RUU, Elly bersama KSBSI bertahan selama 10 hari mengikuti pembahasan pada Juli. Beberapa poin yang mereka perjuangkan antara lain soal pengaturan upah agar tetap menggunakan aturan yang sudah berjalan, alih daya, dan pekerja kontrak. Semula usulan tersebut diterima meski cuma separuhnya saja.
“Dalam pembahasan terkait upah minimum provinsi misalnya, ada persetujuan walau pun tidak ditandatangani tapi ada gentlemen agreement untuk mengembangkannya. Ternyata begitu UU nya keluar upah sektoralnya dihapus,” ujar Elly.
Soal tenaga alih daya (outsourcing) juga tak lagi dibatasi di lima sektor, melainkan dibuka semua. Jadi semua sektor saat ini bisa menggunakan tenaga outsourching.
Sumber: detik.com