TNews, NASIONAL – Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Apa lacur, UU itu diwarnai kesalahan ketik fatal.
Halaman 6 UU Cipta Kerja Pasal 6 berbunyi:
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.
Lalu apa bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf a?
Pasal 5 ayat 1 huruf a tidak ada. Sebab, Pasal 5 adalah pasal berdiri sendiri tanpa ayat. Pasal 5 berbunyi:
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, kesalahan tersebut fatal. Mengapa?
Bivitri menyebut undang-undang (UU) tidak bisa diimajinasikan ‘tahu sama tahu’ ketika waktu dilaksanakan, melainkan harus sesuai dengan apa yang tertulis di UU.
“Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 itu, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani (yang itu pun sudah salah),” ujar Bivitri saat berbincang dengan, Selasa (3/11/2020),
Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah, tidak bisa dilaksanakan. Karena dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis.
“Dampak lainnya, meski tidak ‘otomatis’, ini akan memperkuat alasan untuk melakukan uji formal ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan,” papar Bivitri,
Apa yang bisa dilakukan? Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu, karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja.
“Kalau cuma perjanjian, bisa direnvoi, dengan membubuhkan tanda tangan semua pihak di samping, kalau di UU tidak bisa, tidak diperbolehkan menurut UU 12/2011 dan secara praktik tidak mungkin ada pembubuhan semua anggota DPR dan presiden di samping,” cetus Bivitri.
“Yang jelas semakin nampak ke publik, bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya (dan itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan). Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara,” sambung pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
Sumber: detik.com