TNews, HUKRIM – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial bakal menjadi sarana ‘cuci tangan’ bagi para pelakunya. KontraS mengatakan melalui perpres ini penanganan HAM akan dilakukan melalui ‘jalan damai’ yang diklaim untuk memulihkan korban melalui jalan rekonsiliasi demi mewujudkan perdamaian bangsa. Dalam salinan draf yang berdasarkan sumber di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), draf tersebut terdiri dari sembilan bab dan 23 pasal.
Di dalamnya mengatur bagaimana kasus HAM bisa diselesaikan secara nonyudisial alias di luar proses hukum. Salah satunya yakni dengan membentuk unit kerja presiden yang berada di bawah naungan Menko Polhukam. Unit kerja ini dibentuk sebelum pemerintah resmi membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan akan segera dibubarkan setelah tim tersebut terbentuk. “Penanganan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pemulihan dan rekonsiliasi dalam rangka penyelesaian dampak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme nonyudisial,” demikian bunyi Pasal 1 angka 4 draf Perpres itu.
Tim ini nantinya akan melakukan penanganan atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM sebagai mana tercantum dalam Pasal 3. Pelanggaran HAM yang dimaksud adalah pelanggaran HAM berat berdasarkan pada kesimpulan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penanganan HAM yang dilakukan tim ini, seperti tercantum dalam Pasal 5 yakni dengan melalui mekanisme nonyudisial berupa upaya pemulihan dan rekonsiliasi yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa.
“UKP-PPHB mempunyai tugas melaksanakan penanganan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme nonyudisial dalam bentuk upaya pemulihan dan rekonsiliasi untuk mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa,” demikian bunyi Pasal 5. Meski begitu, rancangan draft yang disebut-sebut telah sampai di meja presiden itu tidak bisa diakses oleh publik. Sementara, pembahasannya disebut telah hampir rampung. Terpisah, Direktur Instrumen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Timbul Sinaga membenarkan bahwa rancangan Perpres tersebut tidak akan mengungkap pelaku pelanggaran HAM, tetapi hanya kejadian dan peristiwa.
“Terkait dengan beberapa pasal, saya lupa tetapi salah satu contohnya, tidak mengungkap pelaku, atau hanya kejadian dan di mana peristiwa terjadi,” kata di Jakarta, Kamis. Sebelum draf Rancangan Peraturan Presiden itu ditandatangani oleh Presiden, Timbul menyebut akan dibentuk lebih dahulu tim panitia seleksi (pansel). Pemerintah, katanya, akan membuka ruang secara luas kepada publik. Timbul mengatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM itu pada dasarnya melalui dua langkah, yakni secara yudisial dan nonyudisial. Untuk jalur yudisial, instansi yang paling berperan adalah Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung.
Adapun penyelesaian secara nonyudisial, Timbul menyebut Pemerintah bisa melakukannya dengan cara pemulihan kepada korban, baik individual maupun komunal. Hal tersebut, katanya, telah dilakukan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Contohnya, korban peristiwa Talangsari, Lampung. Pemulihan oleh Pemerintah meliputi pemberian hak-hak dasar, bukan mengarah pada ganti rugi kepada korban maupun keluarga korban. “Jadi, tidak bicara ganti rugi, saya kira lebih besar pemulihan daripada ganti rugi,” kata Timbul. Sebagai contoh di Lampung, Pemerintah memberikan pemulihan di aspek pendidikan, kesehatan, wirausaha lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. “Artinya, selama hidup kita berikan,” ujarnya.
Meski begitu, Timbul mengklaim saat ini Pemerintah sedang mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di beberapa daerah. Untuk kasus pelanggaran HAM berat Talangsari, Provinsi Lampung, menurut dia, hampir bahkan bisa dikatakan telah diselesaikan. Saat ini, pemerintah pusat sedang melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Aceh. “Kami sedang berkomunikasi dengan Gubernur Aceh, bupati di Aceh, termasuk melibatkan pihak-pihak lain,” kata Timbul. Untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu, kata Timbul, negara tidak akan meminta maaf, tetapi Pemerintah menyesali atas peristiwa yang terjadi dan menjamin hal serupa tidak kembali terulang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional 2020 menyatakan akan mengambil “langkah-langkah yang diperlukan dan diakui oleh komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia”. Sebagai perwujudannya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berencana membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme lainnya, baik yudisial maupun nonyudisial.
Cuci Tangan
KontraS menilai wacana rekonsiliasi dalam Ranperpres UKP-PPHB itu merupakan bentuk pengampunan alias impunitas terhadap para pelanggar HAM berat masa lalu, yang sebagiannya masih menjabat. “Wacana rekonsiliasi tak lain tak bukan hanya dimaknai sebagai bentuk lain ‘cuci tangan’ yang dilakukan oleh beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini masih menduduki jabatan publik yang strategis,” dikutip dari siaran pers KontraS, dari laman resminya. “Selain itu, wacana rekonsiliasi versi pemerintah juga berpotensi melanggengkan praktek impunitas karena tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan juga partisipasi keluarga korban,” lanjut KontraS.
Secara keseluruhan, Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (RPerpres UKP-PPHB) ini kurang berprespektif pada korban dan mencoreng rasa kemanusiaan dan keadilan. “Korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya, pemerintah lebih mengutamakan rekonsiliasi tanpa dibarengi dengan pengungkapan kebenaran,” ujar KontraS.
Diketahui, sejumlah pejabat dan politikus di masa Presiden Jokowi dikaitkan oleh para aktivis HAM dengan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Misalnya, Wiranto dalam kasus Timor-Timur, Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis di era 1998, hingga Hendropriyono dalam kasus Talangsari. Mereka sudah membantah keterlibatan dalam kasus-kasus tersebut. Sejauh ini pun, belum ada putusan pengadilan yang membenarkan keterlibatan mereka.
Sumber : cnnindonesia.com