Begini Sejarah Jakarta Selatan, Kota Taman yang Dikepung Zaman

0
111

TNews, SEJARAH – Suhu di Jakarta memang panas, apalagi di saat musim kemarau. Cobalah berjalan kaki saat jam 12.00 siang, tanpa topi atau payung. Meski banyak yang mengeluh kegerahan, nyatanya kota yang pada 22 Juni 2021 berulang tahun yang ke-494 ini tak pernah ditinggalkan. Kota ini menjadi tempat banyak orang menggantungkan mimpi. Di tengah panasnya Jakarta ada saja oase berteduh. Cobalah berjalan di Jakarta Selatan, seperti di sekitar Pasar Blok M atau Pasar Mayestik. Trotoarnya bisa dibilang lebih mumpuni ditambah pepohonan yang lebih rindang.

Pengamat tata kota, Nirwono Joga, bercerita bahwa Jakarta Selatan sejatinya adalah kota taman. Ia menyebutkan ada lebih dari sepuluh taman yang mendekati kategori layak dikunjungi di kawasan ini. Rasanya tidak akan kehabisan ide jika sebulan sekali berkunjung ke taman yang berbeda. “Misal, kalau saya ingin menemukan sepuluh taman di utara maupun timur dan barat rasanya lebih sulit kalau dibandingkan di selatan,” ucap Nirwono saat diwawancara pada beberapa waktu yang lalu. Nirwono menyebutkan beberapa contoh taman yang menurutnya mendekati kategori layak untuk dikunjungi. Di luar kawasan Kebayoran Baru, beberapa taman itu di antaranya Taman Spatodhea dan Taman Buni di Jagakarsa, dan Taman Dadap Merah di Pasar Minggu.

Taman-taman itu baru dikembangkan di era 2010 ke atas dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong yang ada di kawasan tersebut. Nirwono menjelaskan, paling tidak ada lima kriteria taman yang dikatakan layak kunjung. Pertama, aksesibilitasnya harus mudah. Artinya, taman harus dekat dengan pemukiman. “Misalnya, bisa diakses dengan orang berjalan kaki sekitar sepuluh menit,” ucap dia. Kedua, harus terbuka 24 jam. Nirwono mengatakan inilah yang membedakan taman publik dan privat. Ketiga, harus mumpuni secara fasilitas, sarana dan prasarana. Mulai dari yang sederhana; ada bangku, tempat sampah, lampu penerangan, toilet, parkir sepeda, hingga jaringan Wi-Fi.

Kemudian yang keempat, yang tidak kalah penting adalah komposisi taman. Nirwono mengatakan idealnya sebuah taman yang bagus itu 70 persennya ialah tanaman. “Ini yang membedakan nanti dengan Taman Fatahillah (di kawasan Kota Tua). Namanya Taman Fatahillah, tapi enggak ada taman-tamannya,” kata dia. Kelima, keanekaragaman hayatinya. Ia mengatakan suatu taman itu harus kaya ekosistem. Sehingga jika tanamannya rimbun dan sehat, maka kupu-kupu, capung atau burung bakal berdatangan. Akhirnya, lingkungan taman yang ada di sana juga semakin terjaga. Dikatakan Nirwono, kriteria-kriteria itu lebih banyak ditemukan di taman-taman Jakarta Selatan. Oleh sebab itu, tak heran jika Jakarta Selatan punya daya tarik tersendiri.

“Jakarta Selatan kualitasnya masih lebih baik. Ada Kebayoran Baru, tamannya masih banyak. Ini yang akhirnya menjadi daya tarik,” ucap dia. Zaenuddin HM dalam buku ‘212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe’ mengatakan kalau Kebayoran Baru sudah didesain dengan konsep kota taman sejak 1948. Daerah itu dirancang oleh arsitek bernama H Mohammad Soesilo. Soesilo sendiri adalah murid Thomas Karsten, seorang arsitek Hindia Belanda yang ikut merancang kota Bandung, Bogor, dan Malang pada masa penjajahan. Konsep yang digunakan adalah “kota taman”. Konsep ini mengusung ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik.

Rindang dari dulu

Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, mengatakan keteduhan taman-taman yang ditemui di Jakarta Selatan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, dulu Jakarta Selatan jauh lebih teduh lagi karena pepohonan lebih banyak. Ridwan bercerita, Jakarta Selatan sejak masa Hindia Belanda merupakan daerah perkebunan. Di kawasan ini banyak perkebunan karet dan jati. Ia menyebut Pohon Jati dulu paling banyak ditemukan di Kebayoran Lama. “Daerah situ memang banyak pepohonan, rada sejuklah. Kalau Jakarta Selatan sampai ke Depok kan daerah onderneming, daerah perkebunan, karet, terutama karet di daerah situ,” kata Ridwan dalam wawancara terpisah.

Di Jakarta Selatan juga ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan. Ia mengatakan tak heran jika nama-nama daerah di Jakarta Selatan diambil nama-nama buah, seperti Gandaria. Ridwan menyayangkan, semakin lama kebun-kebun itu digantikan oleh pemukiman warga. Meski begitu, suasananya masih teduh karena masih banyak pohon yang dibiarkan tumbuh, bahkan sengaja ditanam. “Ya memang daerah penghijauan sih ya daerah selatan,” ucapnya.

Dikepung zaman

Pendapat Ridwan diamini juga oleh Nirwono, dengan mengacu pada rencana umum tata ruang Jakarta pada 1965-1985 dan tahun 1985-2005. Dalam rancangan tersebut, ia menjelaskan, Jakarta Selatan diproyeksi sebagai daerah resapan air. Oleh sebab itu, pembangunan di Jakarta Selatan dibatasi. Berbeda dengan kawasan Jakarta yang lain. Jakarta Timur dan Barat untuk industri, Jakarta Pusat untuk pusat pemerintahan, dan Jakarta Utara untuk mendukung pelabuhan. Ia menjelaskan, lahan di Jakarta Selatan yang boleh dibangun tidak boleh lebih dari 20-30 persen. Sisanya dijadikan kawasan tangkapan air.

“Di daerah Kemang misalnya, aturan mainnya kalau kita punya lahan 100 meter persegi, yang dibangun enggak boleh lebih dari 20-30 persen. Kecil. Yang sisanya, 70-80 persen itu, harus dihijaukan. Ini berlaku sampai dengan daerah yang sekarang kita kenal kiri-kanan jalan tol di selatan,” kata Nirwono. Proyeksi sebagai daerah resapan air inilah yang menurut Nirwono menjadikan Jakarta Selatan lebih sejuk. Ia juga mengakui kalau Jakarta Selatan lingkungannya paling baik di antara Jakarta lainnya. “Kalau kita bilang kualitas lingkungan terbaik itu adanya di Jakarta Selatan, itulah kenapa kecenderungannya orang banyak yang menghuni kawasan ini,” pungkasnya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.