TNews, SEJARAH – Dibalik perayaan hari kemerdekaan 17 agustus yang setiap tahun dirayakan diwilayah Bolaang Mongondow (Bolmong), ternyata ada peristiwa heroik yang tercatat dalam sejarah Bolmong untuk mempertahankan kemerdekaan. Berikut penelusuran sekilas sejarah oleh awak media. Upaya kerajaan Bolaang Mongondow (Bolmong) kala itu dibawah pimpinan raja H.J.E. Manoppo, untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman angkatan perang Belanda NICA, yang kembali masuk ke Indonesia bersama sekutu, maka perlu untuk mengumpulkan dan menyusun kekuatan dengan cara merangkul para pemuda pemudi pejuang bangsa yang tergabung dalam Organisasi Pemuda Muslimin Indonesia (OPMI) dan pemuda pemudi yang berasal dari anak-anak PSII.
Yang mana, sebagian dari mereka mendapat pendidikan militer sesama penduduk Jepang ‘Heidi’. Dari sini lah, maka pada tanggal 14 Oktober 1945, resmi dibentuk satu kelaskaran yang dinamakan laskar “banteng”. Nama Laskar banteng ini diambil dari nama Bogani “Antong” atau Banteng. Bogani Antong atau Banteng dalam sejarah masyarakat Bolmong adalah orang terkuat sebagai pengawal Raja Datoebinangkang, atau Raja Loloda Mokoagow yang memerintah pada tahun 1650. Pasukan atau laskar banteng inipun dibagi dua pasukan, terdiri dari pasukan pria yang dipimpin Abdul Rahman Mokobombang, dan pasukan wanita dipimpin oleh Ny. Nurtina Damopolii Manggo, dengan komandan laskar banteng Y.F.K. Damopolii, yang tak lain adalah suami dari Ny. Nurtina Damopolii Manggo.
Dalam tubuh laskar banteng wanita ini pula terdapat 4 laskar wanita berani mati, yang semuanya adalah para wanita kelahiran Desa Tanoyan. Keempat laskar wanita berani mati ini adalah sebagai berikut:
- JAMILAH ANSIK
- HAMSIAH MOJI
- HASNA MOKOBOMBANG
- NURBAYA ANSIK
Berbekal pelatihan dasar militer yang didapat dari komandan laskar Y.F.K. Damopolii, dan persenjataan hasil pemberian tentara Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, serta kain merah dan putih yang dijahit menjadi bendera Indonesia, maka laskar wanita berani mati ini diberikan tugas dan misi untuk mengganti bendera Belanda dengan bendera Sang Saka Merah Putih di gedung kontroleur, yang ada di Kotamobagu dengan segala risiko dan tidak diperbolehkan jika gagal sekalipun nyawa jadi taruhan, sebagaimana janji dan sumpah yang telah diikrarkan (bai’at) sebelum berangkat.
Misi pun dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 1945, dengan mengunakan seragam putih serta senjata yang disisipkan di balik pakaian keempat laskar wamita berani mati berangkat dengan berjalan kaki sejauh kira-kira 20 kilometer dari Tanoyan menuju markas induk bandule yang terletak di Molinow. Pukul 06.00, tepatnya tanggal 19 Desember 1945, bendera merah putih pun sudah ramai terpasang di sekeliling lapangan Molinow, dan diiringi lagu kebangsaan Indonesia raya, karena Molinow adalah konsolidasi terakhir sebelum menuju gedung kontroleur di Kotamobagu kala itu. Tak disangka, ternyata laskar banteng telah dikepung oleh NICA yang ber-intikan tentara KNIL dan polisi kerajaan belanda dibawah pimpinan J. Kambey. Pertempuran sengit tak dapat dihindari.
Untuk menghidari lebih banyak masyarakat yang jatuh korban, pasukan laskar banteng memilih mundur dan kembali ke markas besar di Tanoyan, dan selang beberapa hari kemudian markas besar laskar banteng pun berhasil dikuasai oleh NICA. Kini tersisa nama keempat laskar banteng wanita pemberani yang tergores dalam sejarah kebangkitan perlawanan pejuang Bolmong dalam pertahankan kemerdekaan. Keempat wanita pemberani itu telah wafat sebagai pahlawan yang mungkin tidak banyak masyarakat Bolmong yang mengenal mereka. Sebagai bentuk penghormatan atas peristiwa itu, kini masih berdiri kokoh tugu peringatan ‘Napak Tilas’ di Desa Tanoyan.
Sumber : bolmora.com