TNews, Kotamobagu – Bagi suku Mongondow, dahulunya Tandai menjadi benda yang sangat penting untuk kehidupan sehari-hari. Tandai menjadi alat vital dalam memenuhi pasokan kebutuhan air bersih, terutama pada saat perang.
Tandai adalah sebuah benda, terbuat dari bambu air (Bulu Taraki), berusia tua, dan biasanya dipotong sepanjang satu atau satu setengah meter.
Kemudian, ruas bagian dalamnya dikeluarkan, sehingga bisa menampung air. Bagian luarnya, biasanya akan ada cabang bambu lainnya, (ukuran kecil), yang dijadikan penopang, atau penyanggah ketika Tandai ini dikaitkan ke bahu orang yang membawanya.
Untuk menjaga air tetap bersih, di ujung Tandai biasanya diberi serabut ijuk dari pohon aren sebagai penutupnya.
Dalam perkembangannya, Tandoi ini sering dijadikan wadah untuk mengambiil air, dari pegunungan ke sumber mata air atau pancuran di sekitar sungai untuk dibawa ke rumah, atau tempat bermukim.
“Kolopod pa akuoi nokorikipa, mogama kon tubig nongkon bulud, (Dahulu saya masih sempat mengambil air dari pegunungan) dengan menggunakan Tandai,” kata Walikota Kotamobagu, Tatong Bara.
Seiring berkembangnya jaman, Tandai sudah jarang bahkan tidak digunakan lagi, tetapi contoh Tandai ini, masih bisa dilihat di replika Komalig yang ada di Desa Kopandakan 1, Kecamatan Kotamobagu Selatan.
“Memang saya mencoba mengkomparasikan, data dan fakta, apa yang menjadi peninggalan leluhur, termasuk mengumpulkan apa yang masih ada,” kata relawan konservasi Budaya Mongondow, Sumitro Tegela, Rabu, (20/11/2019).
Meski sekarang Suku Mongondow sudah jarang menggunakan Tandai, tapi oleh beberapa orang, Tandai ini dijadikan penanda kreatifitas dan kemampuan dalam peradaban suku Mongondow.
“Jelas, ini menjadi tanda bahwa Suku Mongondow sudah lebih dulu memiliki benda yang modern (kala itu), dan terbuka dalam berpengetahuan, termasuk seni dan budayanya,” singkat Aki Abo, salah seorang pemerhati budaya.
Neno Karlina