TNews, KULINER – Fast food menjadi salah satu konsep makan yang kini lumrah ditemui. Berbagai gerai fast food tumpah ruah di Indonesia. McDonald’s, KFC, HokBen adalah segelintir raksasa fast food yang ada di Indonesia di zaman kiwari. Lantas, bagaimana sebenarnya dengan perjalanan fast food di Indonesia? Fast food sendiri berarti makanan yang sengaja disiapkan untuk disajikan sesegera mungkin. Jika menilik pengertian ini, street food yang ada di Indonesia juga telah mewakili konsep fast food di Indonesia, sebelum berbagai restoran cepat saji dari luar masuk.
Ragil Imam Wibowo atau yang akrab disapa Chef Ragil mengatakan bahwa makanan dapat dikategorikan sebagai fast food jika proses dari pemesanan hingga makanan dihidangkan memakan waktu tak lebih dari 20 menit. Di level ekstrem, proses ini bahkan tak sampai 10 menit. “Street food Indonesia semuanya fast food, ada sate, nasi goreng, bakso, itu tidak sampai 10 menit udah matang, kecuali kalau antre yah,” kata Chef Ragil, Jumat (11/6). Fast food di Asia, termasuk di Indonesia, cenderung menyajikan makanan-makanan sehat, berbeda dengan konsep fast food ala Barat. Fast food ala Barat bahkan dinobatkan sebagai ‘junk food’ yang tidak menyehatkan.
Teknik masaknya pun jauh berbeda dengan teknik orang Indonesia. “Mereka [orang Barat] enggak mau bikin kayak Indonesia. Sate, mereka motongnya besar-besar, di Indonesia kecil-kecil,” kata Ragil. Bakmi GM disebut sebagai restoran cepat saji pertama dengan merek yang besar. Restoran ini sebelumnya bernama Bakmi Gajah Mada yang berdiri pada tahun 1959. Sekitar 1979, jaringan restoran cepat saji KFC berdiri di Indonesia. Tak lama berselang, masuk restoran-restoran cepat saji lain termasuk McDonald’s pada 1991. Chef Ragil berkata, fenomena ini pun mulai mengubah peta permainan kuliner (food and beverage) Indonesia.
“Tadinya enggak ngerti, belum ada sistem franchise, kemudian kenal begitu ada brand luar masuk sini,” kata dia. Tak pelak, ini pun merangsang kemunculan merek-merek fast food dan franchise lokal. Hoka Hoka Bento yang Anda sangka merupakan franchise dari Jepang sebenarnya brand lokal. Berdiri pada 1985, Chef Ragil bercerita, brand ini mengambil konsep restoran kecil di Jepang. Di sini, restoran berkembang pesat, tetapi pemilik konsep malah sudah tinggal nama. Warung Tegal alias warteg pun juga menggunakan konsep ‘fast food’. Bahkan warteg pun mengenal franchise seperti label Warteg Kharisma Bahari. Dibanding label makanan cepat saji impor, makanan cepat saji ala warteg menawarkan menu segar yang dimasak tiap hari.
Walau merek lokal tak kalah seksi, tapi label mancanegara, terutama Amerika Serikat, lebih menempel di benak publik. Chef Ragil mengakui bahwa merek-merek AS begitu lihat ‘mendandani’ produk dan memasarkannya. Dengan adanya fenomena BTS Meal yang baru terjadi belakangan, Ragil menyebut, merek-merek lokal seharusnya mulai melirik konsep kolaborasi seperti yang dilakukan McDonald’s sebagai cara baru memperbesar pasar. “Saya melihat sebenarnya sudah ada kolaborasi brand-brand anak muda Jakarta, lumayan bagus. Kadang dengan artis baru yang tidak banyak demand. Kalau artis lokal mungkin yang harus jadi pemikiran bahwa mereka sama-sama menolong brand, enggak cuma melulu komersil,” ujarnya.
Sumber : cnnindonesia.com