SETIAP akhir September, bangsa ini seharusnya tidak sekadar mengingat tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) sebagai peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia.
Lebih dari itu, G30S harus menjadi bahan refleksi, terutama bagi generasi muda di Bolaang Mongondow Raya (BMR), tentang bagaimana rapuhnya bangsa ketika nilai kebangsaan dan moral mulai pudar.
Peristiwa G30S bukan sekadar konflik politik antara militer dan ideologi. Ia adalah simbol dari betapa bahayanya jika anak bangsa kehilangan arah, jika pemuda tidak lagi peduli pada sejarah, dan jika nasionalisme hanya tinggal slogan tanpa makna.
Darah yang tumpah kala itu bukan sekadar luka sejarah, tetapi peringatan abadi bahwa kehancuran bangsa bisa bermula dari pengkhianatan terhadap jati diri dan ideologi sendiri.
Sayangnya, banyak anak muda hari ini hanya mengenal G30S lewat potongan video pendek di media sosial, tanpa memahami akar masalah, latar ideologis, dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa.
Di era digital yang serba cepat, sejarah sering dikaburkan oleh narasi instan dan konten yang dangkal. Akibatnya, semangat kebangsaan tergeser oleh budaya viral, dan kepedulian terhadap bangsa kalah oleh ego pribadi.
Generasi muda di BMR yang tumbuh di tanah kaya budaya dan sejarah perjuangan, seharusnya menjadikan peringatan G30S sebagai momentum meneguhkan komitmen terhadap Indonesia yang berdaulat, adil, dan beradab.
Bukan untuk menumbuhkan kebencian, tetapi untuk membangun kesadaran: bahwa menjaga NKRI bukan hanya tugas tentara, melainkan tanggung jawab setiap warga negara, terutama generasi penerus.
Dari Bolaang Mongondow Raya, spirit kebangsaan itu harus disuarakan kembali. Pemuda yang dulu berdiri di barisan perjuangan kini harus berjuang di medan yang berbeda melawan kebodohan sejarah, melawan disinformasi, dan melawan sikap apatis terhadap masa depan bangsa.
Menghayati G30S berarti belajar untuk tidak mudah dipecah-belah, tidak mudah diprovokasi, dan tidak buta terhadap sejarah sendiri.
Bangsa yang melupakan sejarahnya akan kehilangan arah. Generasi yang mencintai sejarahnya akan tumbuh menjadi penjaga masa depan.
Dan dari tanah Mongondow yang gagah ini, semangat itu harus terus menyala, bukan sekadar setiap 30 September, tapi setiap hari dalam sikap dan tindakan.
Editorial : Surahman Mokoagow