Lagi-lagi fantasi terhadap keberadaan kerajaan fiktif tersorot kembali. Terbaru, ada seorang sopir yang mempunyai SIM dan STNK ‘Negara Kekaisaran Sunda Nusantara’. Lantas, fenomena apakah ini? Sebagaimana diketahui kehebohan ‘Negara Kekaisaran Sunda Nusantara’ ini bermula saat sebuah mobil Mitsubishi Pajero Sport disetop polisi saat melintas di Km 3 Tol Cawang, Rabu (5/5) kemarin siang. Polisi menyetop mobil tersebut karena memasang pelat nomor pada kendaraan yang tidak lazim. Mobil tersebut saat itu mengarah ke Bogor. Selain pengemudi, ada satu orang penumpang lainnya di dalam kendaraan warna hitam itu.
Mobil yang dikemudikan oleh Rusdi Karepesina (55) itu berpelat warna biru dengan nomor SN-45-RSD. Polisi yang menaruh kecurigaan atas pelat nomor tersebut kemudian menghentikan kendaraan tersebut dan memeriksa pengemudi. Saat diperiksa polisi, Rusdi Karepesina tidak dapat menunjukkan surat-surat kelengkapan kendaraan yang sah. Rusdi Karepesina justru menunjukkan STNK dan SIM yang bukan produk Polri. “Kendaraan Mitsubishi Pajero tersebut menggunakan pelat nomor yang tidak sesuai dengan standar tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) yang dikeluarkan oleh Polri dan menggunakan pelat nomor SN-45-RSD,” kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo kepada wartawan, Rabu (5/5/2021). Saat diperiksa, Rusdi Karepesina menunjukkan SIM dan STNK yang dikeluarkan ‘Negara Kekaisaran Sunda Nusantara’.
Rusdi Karepesina juga memiliki identitas semacam KTP produk Kekaisaran Sunda Nusantara. “Selanjutnya ketika dilakukan pemeriksaan kepada pengemudi, maka ditemukan berbagai kartu identitas yang dikeluarkan oleh ‘Negara Kekaisaran Sunda Nusantara,” imbuhnya. Tidak hanya itu, mobil tersebut juga ditempeli stiker logo ‘Kekaisaran Sunda Nusantara’. Ada tiga buah stiker ‘Kekaisaran Sunda Nusantara’ yang ditempelkan pada kendaraan tersebut. Dia ngakunya warga Kekaisaran Sunda Nusantara. Kaya Sunda Empire gitu,” kata Kasat PJR Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Akmal saat dihubungi, Rabu (5/5/2021). Dari foto yang diterima, pengemudi bernama Rusdi Karepesina ini merupakan warga kelahiran Ambon. Pada kartu identitas, tercantum keterangan jabatan Rusdi Karepesina sebagai seorang jenderal pertama. “Jenderal Pertama TKSN/ Imperial Army of Sunda Archipelago,” demikian keterangan di foto.
Bukan yang Pertama
Fantasi beberapa orang terhadap kerajaan fiktif ini juga pernah memicu kehebohan pada tahun 2020. Di luar tanah Pasundan, pada awal tahun pernah muncul kerajaan fiktif bernama Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Pengikutnya banyak juga saat itu. Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41) menjadi Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat. Toto divonis hukuman 4 tahun penjara dan Fanni 1 tahun 6 bulan oleh PN Purworejo. Keduanya mengajukan kasasi hingga akhirnya mereka bebas demi hukum pada 15 Maret 2021. Ada pula kelompok Sunda Empire yang mengaklaim soal tatanan dunia yang bisa kacau tanpa kepemimpinan kelompok ini.
Raden Rangga bersama dedengkot Sunda Empire Nasri Banks sempat dibui juga Sunda Empire ini. Namun, kini mereka bebas dari bui usai mendapatkan program asimilasi. Ada pula Paguyuban Tunggal Rahayu di Garut. Kelompok tersebut mengubah lambang negara Garuda Pancasila dan mencetak duit sendiri. Paguyuban di Cisewu ini dipimpin oleh Mister Sutarman, yang mengaku sebagai Profesor Dr Ir H Cakraningrat SH. Dia mengklaim punya 13 ribu anggota yang tersebar di 34 provinsi. Pengikutnya mengaku sepekan sekali berkumpul untuk pengajian. Tak berhenti di situ, ada pula kelompok King of the King di Bandung atau Kerajaan Ubur-ubur di Banten yang juga pernah bikin heboh. Mengapa orang-orang yang berfantasi dengan keberadaan negara atau kerajaan fiktif ini terus ada?
Bukan Soal Etnis
Pemerhati budaya Sunda, Hawe Setiawan menilai bahwa fenomena kerajaan fiktif yang mencatut nama etnis Sunda ini bukan terkait etnis. Dia menganggap ini sebagai kegagalan seseorang menyadari realitas saja. “Saya kira ini penamaan Sunda Nusantara ini nggak ada kaitannya dengan etnis ya. STNK dan SIM-nya itu nama dan kelahirannya Ambon ya. Menurut saya ini mungkin semacam kegagalan menyadari realitas aja. Kayak halu aja,” kata Hawe saat dihubungi, Kamis (6/5/2021). Namun, dia mengatakan bahwa halusinasi yang dimanifestasikan dengan surat-surat administrasi ‘negara tersendiri’ ini perlu diwaspadai. Pasalnya, hal ini bisa berdampak kepada masalah publik.
“Halu mereka ini akan menimbulkan keruwetan dengan publik karena bisa mengganggu administrasi,” ujarnya. “Kalau orang berhalusinasi menjadi warga sendiri, menjadi seorang jenderal dan lain-lain ya itu halusinasilah. Tapi kalau sudah dibawa ke ruang publik bisa repot,” tuturnya. Lantas, kenapa fenomena fantasi kerajaan fiktif ini terus terjadi? Dia mengungkap bahwa banyak faktor yang bisa melatarbelakangi masalah ini. “Jadi belum tentu soal etnisitas loh. Ini bisa ada kaitannya dengan faktor ekonomi, faktor politik dan bisa banyak faktornya,” ungkapnya. Sementara itu, sosiolog dari UGM Arie Sujito menganggap fenomena kelompok ‘negara jadi-jadian’ yang aneh-aneh itu tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saat ini Indonesia perlu berkonsentrasi menghadapi COVID-19.
“Negara tidak perlu terancam dengan hal-hal seperti ini. Kelompok-kelompok seperti itu sekadar romantisme kultural saja,” kata Arie. Di zaman teknologi informasi, masyarakat, terlebih anak muda, sudah semakin rasional. Arie percaya masyarakat tidak mudah tertipu oleh kelompok negara atau kerajaan fiktif ini. “Yang paling penting adalah seberapa besar legitimasi masyarakat atas kelompok itu. Apabila kelompok semacam itu tidak mendapatkan legitimasi masyarakat (tidak diakui secara luas), maka kelompok-kelompok semacam itu akan dilupakan dengan sendirinya,” ujar Arie.
Sumber : detik.com