TOTABUAN.NEWS, BOLMONG – Penutupan pertambangan emas tanpa ijin (PETI) di Bakan, Lolayan, Kabupaten Bolmong oleh Polres Kotamobagu mendatang tanggapan dari Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Menurut mereka Langkah tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Seperti diketahui, Selasa (2/7/2019) Polres Kotamobagu menurunkan 200 personil tim gabungan melakukan penutupan PETI di Bakan. Penertiban ini dilakukan menindaklanjuti surat Bupati Bolmong kepada penambang agar menghentikan aktivitasnya.
Menurut ketua Perhapi, Risal Kasli penertiban tersebut jangan hanya dilakukan pada saat ada kecelakaan saja. Tapi harus dilakukan secara menyeluruh dan merupakan program yang kontinyu.
“Yang harus dipikirkan juga bagaimana pengalihan pekerjaan bagi mereka yang sudah terlanjur masuk ke tambang ilegal tersebut sehingga bisa melanjutkan atau mendapatkan penghasilan lainnya,” terangnya.
Dijelaskannya, perlu kerjasama dengan perusahaan tambang setempat untuk memikirkan program pemberdayaan masyarakat secara bersama. “Perusahaan punya program PPM yg bisa diarahkan utk pemberdayaan ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Lebih jauh dikatakannya, Perhapi melihat melihat bahwa penertiban tambang ilegal selama ini seperti jalan di tempat. Semua membicarakan tentang tambang ilegal ini tapi langkah penertibannya sangat kurang.
“Tidak ada instansi yang fokus mencari jalan keluar dari pengelolaan tambang ilegal ini. Seharusnya ada kordinasi yang bagus diantara instansi pemerintah untuk menegakkan aturan-aturan tentang pertambangan tersebut,” ujar Risal.
Menurut lagi, tambang ilegal itu berlawanan dengan good mining practice, karena kaidah-kaidah yang ada dalam good mining practice tidak ada penerapannya di tambang ilegal. “Dimulai dari perizinan, jelas bahwa izinnya tidak ada. Eksplorasi, konservasi, keselamatan kerja dan lungkungan tidak dijalankan di tambang illegal,” jelasnya.
Perlu diketahui kata Risal, harus dibedakan terlebih dahulu antara tambang rakyat dan tambang ilegal. Tambang rakyat atau yg disebut izin pertambangan rakyat (IPR) memiliki izin resmi yang diberikan oleh pemerintah sesuai kewenangannya dan berada di wilayah usaha pertambangan rakyat (WIUPR) yang sesuai UU dan peraturan yg berlaku.
Sedangkan tambang ilegal jelas-jelas tidak memiliki izin. Untuk WIUPR ada peruntukan lahannya tersendiri dan tidak akan tumpang tindih dengan IUP lainnya karena harus ada clean and clear (CNC) dari instansi yang berwenang.
“Yang harus dihindari atau ditertibkan adalah tambang ilegal yang beroperasi di wilayah izin pertambangan resmi. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya konflik dengan pemilik izin resmi. Disamping itu juga akan menyebabkan terganggunya neraca sumber daya dan cadangan yang ada, penerimaan negara berkurang, tidak diterapkannya kaidah-kaiidah K3L yg sesuai aturan yg berlaku serta kerusakan lingkungan yang tdk terkontrol,” tandasnya.
Aktivis lingkungan Bolmong Raya (BMR) Hendratno Pasambuna juga angkat bicara soal pertambangan illegal. Menurutnya, pertambangan illegal berisiko mencemari lingkungan.
“Usaha pengolahan emas secara tradisional (PETI) ini dengan menggunakan tong dan gelundungan. Dalam proses tong, bahan yang digunakan adalah potasium sianida, karbon aktif, dan kapur. Demikian dengan proses gelundungan, bahan yang digunakan adalah air keras atau merkuri,” ujar Pasambuna dihubungi semalam.
Bagi Pasambuna, PETI memberikan dampak positif dan negatif terhadap aspek ekologi dan sosial-ekonomi kepada masyarakat lokal. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat PETI tersebut diantaranya kerusakan tanah, penurunan kualitas air, pencemaran sungai, dan terganggunya kesehatan masyarakat.
Sedangkan dampak positifnya adalah meningkatkan pendapatan masyarakat. “Namun sisi ini bukan sebagai jaminan bahwa PETI menjadi legal karena apapun itu aspek ekologi lingkungan harus menjadi parameter dalam rangka pengambilan kebijakan oleh pemerintah apakah PETI ini akan tetap dibiarkan dan dilegalkan tanpa ada kajian lingkungan yang lebih komprehensif,” pungkasnya.
Tim Totabuan News