Politik Dinasty dan Kukis Ongol-Ongol

0
282

Penulis Boy Richard Sompotan,SH

(Aktifis PBHI-Perhimpuan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia)

ORANG Manado pasti tau Kukis Ongol-Ongol, adonannya sederhana dan cara buatnya juga sangat sederhana. Sagu dan gula merah diaduk dengan air kemudian dimasak setelah itu, dengan format seukuran satu sendok dipindahkan dan diguling-gulingkan diatas kelapa yang dicukur. Jadilah Kukis Ongol-Ongol.
Orang Manado dalam 20 tahun terkahir ini juga sudah mengenal apa yang disebut Politik Dinasti.
Politik Dinasty, bisa dianalogikan dengan Kukis Ongol-Ongol. Sederhana, tanpa format, langsung jadi, langsung enak. Hanya membutuhkan sedikit keberanian dicampur dengan sedikit “muka tabal”, bisa langsung jadi dan langsung enak. Seperti itulah politik dinasty.
Dalam catatan politik di Sulut, sebenarnya politik dinasty baru muncul bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru, ketika itu para tokoh politik menghadirkan keluarganya.
Tak bisa disangkal Orde Baru hingga Reformasi memang telah melahirkan simpul-simpul Dinasty Politik yang sulit di bendung. Ambil contoh, tokoh politik di Sulut baik produk orde baru maupun reformasi telah membangun dinasty politik. Kecuali H.V. Worang, G.H. Mantik, dan Welly Lasut, semua Gubernur Sulut produk orde baru dan terhisap (jika tidak ingin disebut terperangkap) dalam pusaran politik dinasty yang serupa kukis ongol-ongol itu.
Politik Dinasty memang tidak ditemukan dalam nomenklatur formal politik Indonesia, itu hanyalah sebuah pandangan dari realitas politik. Faktanya memang anak, mama, papa, ipar, ponakan, kawuleng, anak mantu bisa “berguling-guling” bersama seperti ongol-ongol dalam satu wadah kekuasaan politik.
Fakta politik ini sebenarnya menjadi catatan penting karena telah terjadi perubahan besar kultur politik Sulawesi Utara yang sebenarnya memiliki akar budaya politik demokrasi yang egalitarian. Tersingkirnya budaya politik egalitarian oleh politik dinasty dan oligarkhi politik telah memberi implikasi munculnya feodalisme baru dalam jaring kekuasaan. Etika politik demokrasi membeku dibawa kekuasaan oligarkhi. Proses seleksi alami kaderisasi pemimpin tidak bisa lagi berlangsung secara egaliter walaupun wadah pendidikan dan etika politik sudah cukup memadai.
Akhirnya, kita hanya bisa menonton para pemain politik dinasti “berguling-guling” di atas kalapa cukur seperti kukis ongol-ongol. Kekuasaan politik feoda tak terhidarkan, loyalitas tegak lurus ke atas, sistem tunduk pada kepentingan oligarkhi.
Satu harapan tersisa, semoga “Kukis Ongol” bisa dihindangkan dan bisa dinikmati bersama.
Semoga Politik Dinasty tidak beranak-pinak terus di Sulawesi Utara. (edited by meiyer)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.