TNews, KOTAMOBAGU – Dugaan kecurangan rupanya sudah menjadi tradisi dalam kegiatan lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sebuah fakta mengejutkan terungkap, mengindikasikan bahwa dugaan kecurangan dalam penilaian selalu terjadi dalam setiap pelaksanaan kompetisi ini. Bahkan yang lebih mengejutkan, dewan hakim diduga menjadi dalang dari kecurangan tersebut.
Pada tahun 2014, Kota Kotamobagu menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Chendra Makalalag, salah satu peserta yang mengikuti lomba Fahmil Quran sebagai juru bicara, mengungkapkan adanya indikasi kecurangan yang terjadi selama kompetisi tersebut.
BACA JUGA : MTQ ke – XXX Sulut Ternoda, Tim Syarh Qur’an Kotamobagu dan Bolsel Dicurangi
Chendra menceritakan bahwa tim mereka, didampingi oleh Ustadz Amri Mamonto sebagai pelatih Syarhil Quran dan Ustadz Syarif Maulana Datundugon, tampil sangat kuat dalam babak penyisihan dan semi final.
Mereka berhasil menjawab berbagai jenis soal dengan sangat baik, mulai dari menyambung ayat, menerjemahkan, menjelaskan kandungan, hingga mencari letak ayat di dalam Al-Quran menggunakan kitab Mu’jam Mufahras. Hasilnya, mereka memperoleh nilai yang cukup tinggi, yaitu sekitar 2.300 hingga 2.500 poin di penyisihan dan 1.600 poin di semi final.
Namun, kejanggalan mulai terasa saat babak final. Tim Chendra berada di regu B, sementara regu A ditempati oleh utusan Minahasa dan regu C oleh peserta dari Kota Tomohon. Kedua regu ini bukan peserta asli dari daerah tersebut. Keanehan mencuat ketika sebagian besar soal wajib yang dibacakan ternyata tidak ada dalam paket soal yang telah dibagikan sebelumnya. Regu C, sama seperti tim Chendra, tidak dapat menjawab dengan baik. Hanya regu A yang lancar menjawab, seolah-olah mereka menghadapi tim yang sangat hebat.
BACA JUGA : Polemik MTQ ke XXX Sulut : Dewan Hakim Dinilai Rusak Mental Peserta
Akhirnya, tim Chendra harus puas di posisi juara 2. Enam tahun kemudian, Chendra bertemu kembali dengan Anas Laane, juru bicara regu C dari Tomohon. Anas mengungkapkan bahwa sejak awal sudah ada skenario dari guru-guru mereka bahwa regu A harus menang. Tugas regu C adalah memastikan tim Chendra tidak lolos ke tingkat Nasional, bahkan jika harus mengorbankan nilai mereka sendiri.
Anas juga mengungkapkan bahwa alasan regu A bisa menjawab dengan lancar adalah karena juru bicara regu tersebut merupakan anak dari salah satu dewan hakim yang berpengaruh di LPTQ Provinsi. “Kami kalah bukan karena kami lemah, tetapi karena melawan anak orang dalam,” ujar Chendra.
Chendra menambahkan bahwa dari pengalaman tersebut, ia selalu menanamkan kepada anak-anak bahwa kalah secara terhormat jauh lebih baik daripada menang karena bantuan orang dalam.
Kasus ini mengungkap sisi gelap dari kompetisi MTQ tingkat Provinsi Sulut, dimana integritas dan kejujuran seharusnya dijunjung tinggi. Masyarakat berharap agar pihak terkait segera melakukan investigasi dan mengambil tindakan tegas untuk menjaga integritas kompetisi ini di masa mendatang.
(Konni Balamba)