TNews, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami penguatan di akhir tahun 2019. Ini merupakan penguatan rupiah yang paling tinggi sepanjang tahun setelah sempat melemah hingga ke level Rp 14.500an.
Bank Indonesia (BI) menyebut penguatan ini terjadi karena kondisi eksternal yang mulai kondusif diimbangi dengan kondisi domestik.Paling Kuat Sepanjang Tahun
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) nilai tukar rupiah berada di level Rp 13.901 per dolar AS. Angka ini merupakan yang paling kuat sepanjang tahun ini jika dibandingkan sejak 2 Januari 2019.
Sepanjang tahun ini, nilai tukar tertinggi sempat menyentuh Rp 14.513 per dolar AS yakni pada 23 Mei 2019. Kemudian menguat kembali di hari berikutnya. Angka ini dipengaruhi oleh pasca aksi rusuh pada 22 Mei 2019.Sepanjang 2019 memang nilai tukar rupiah tak beranjak dari kisaran Rp 13.900-14.000an. Mengutip data Reuters, nilai tukar hari ini tercatat Rp 13.935 per dolar AS.
Sebelumnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti menjelaskan sejauh ini bank sentral berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan berbagai terobosan mulai dari instrumen DNDF, Repo, FX Swap. Dengan demikian, jika ada kekurangan likuiditas bisa ditangani oleh BI.Menanggapi hal tersebut Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menjelaskan penguatan rupiah yang cukup signifikan di akhir 2019 di bawah 13.900 memang seharusnya terjadi.
“Hal ini karena didukung oleh kondisi faktor global yang mulai kondusif (meskipun tetap harus diwaspadai), pengaruh musiman akhir tahun, valuasi aset finansial domestik yang tetap menarik, serta faktor teknikal,” kata Nanang saat dihubungi detikcom, Selasa (31/12/2019).
Dia mengungkapkan selain negosiasi konflik dagang AS-China fase pertama mulai menemukan titik temu dan The Fed yang sudah memberikan sinyal yang jelas mengenai arah pergerakan suku bunga ke depan, sejumlah indikator ekonomi di berbagai negara juga mengindikasikan proses pelemahan yang mereda (turn around).
Menurut dia, ketiga faktor global ini memicu pelepasan instrumen safe haven atau aksi ‘flight from quality’ dari aset yang dianggap paling aman seperti US Treasury Bond dan emas ke saham dan sebagian besar aset finansial yang dianggap berisiko seperti saham dan aset negara emerging market (EM).Nanang menjelaskan kondisi global yang mulai berbalik arah tersebut juga memicu para forex traders di pasar keuangan global yang selama ini menumpuk posisi long di spot dan NDF (IDR) karena melihat dolar AS yang akan terus menguat dengan ekspektasi perang dagang AS-China berkepanjangan menjadi berbalik arah dengan melikuidasi (unwinding) posisi long baik di pasar spot maupun NDF.
Tidak mengherankan indeks dolar DXY terus merosot tajam dan terjadi aksi unwinding posisi long NDF dalam jumlah besar besaran, menyebabkan level kurs NDF di pasar luar negeri terus merosot bahkan sering terjadi di bawah kurs spot rupiah. “Di dalam negeri kurs spot yang turun juga ditopang oleh pasokan devisa dari para eksportir yang terus melakukan penjualan karena ekspektasi rupiah akan menguat,” imbuh dia.
Selain itu, bagi para pelaku pasar di domestik terutama treasury bank memelihara posisi long dolar menjadi ‘costly’ karena menghasilkan negative carry di mana suku bunga dolar yang jauh lebih rendah dari suku bunga rupiah. “Di tengah menguatnya rupiah, BI akan tetap memantau dan memberikan ruang penguatan rupiah lebih lanjut, yang didukung oleh mekanisme pasar yang berjalan secara efisien,” jelasnya.
Sumber : Detik.com