TOTABUANEWS, OPINI – PAGI ini, tepat hari ketiga perayaan Hari Perempuan Dunia, ‘rasa’ keperempuananku terusik. Merasionalkan perasaan, tampaknya perkara sulit untuk kulakukan. Aku pernah dengar, orang bilang: terkadang apa yang dirasakan hati, tidak semua bisa dijelaskan pikiran.
Aku berdoa, semoga keselamatan dan keberkahan, berlimpah pada sekalian makhluk, pun rekan-rekan seprofesi.
Sebagai salah-satu buruh kata perempuan, yang tinggal di kota kecil ini. Ada perasaan sedih, menggerayangi hatiku terus-menerus.
Seorang teman (seprofesi)–yang sama gagal paham, dan dungunya denganku. Sedang menghadapi proses hukum, akibat keteledoran, dan kebodohannya sendiri. Sebagai teman baik, aku memang berniat membodoh-bodohkannya.
Betapa bodohnya dia, bisa berkawan dengan orang-orang bodoh, bisa hidup di antara masyarakat bodoh, organisasi-organisasi bodoh, dan diayomi penyambung lidah rakyat yang juga berkali-kali lipat lebih bodoh. Kebodohan diproduksi, dan dilestarikan, atas nama ego, harga diri, dan kedudukan. Mematikan keluhuran budi, akal sehat, dan kecerdasan manusia. Musim pancaroba menjamurkan legawa, berganti kejumawaan tak tentu.
Tampak konyol sih, tapi itu lebih baik, dari sekadar mengatakan: semoga diberi kemudahan, semuanya pasti berlalu, hadapi saja dengan tegar. Plisss deh!
Jangan membuat ini, jadi seperti drama melankolis, yang cengeng, dan sama sekali tidak keren. Doa itu dihati, dipanjatkan dengan tulus, meskipun mungkin akan ngantri, di antara banyak doa-doa hewan, dan tumbuhan, di dunia ini. Jangan salah, hewan dan tumbuhan, juga jenis makhluk hidup. Dan, mereka berdoa.
Maaf jika aku, terlalu langsung dan terbuka. Itulah aku. Maaf jika caraku, atau kata-kataku, melukai perasaanmu, aku pikir sedikit banyaknya akan. Tapi, kewajibanku sebelum pada hati orang lain, adalah pada hatiku. Banyak nian cacat, dan aibku. Aku tak mau menambahkan itu, dengan kemungkinan, sikap tidak adilku padamu. Aku menyukaimu sebagai teman baik. Aku merasa harus bicara padamu, tanpa kilasan rasa bersalah itu.
Teman, “kita memang sedang hidup di dunia yang sinis,” itu kata Tom Cruise, dalam Jerry Maguire. Terserah padamu, memilih bersikap sinis, atau manis seperti gula, atau mungkin kau pilih madu. Namun, sebagai teman bodohmu, aku tegaskan, tidak akan pernah ada spasi yang lapang diantara kita. Aku ingin tetap bicara denganmu, sebagai manusia yang bapperan, walau dituding, sok bernurani. Tak semua bapper itu, berarti tidak baik.
Karna, terlepas atas benar dan salah, atas aturan yang belibet, aku sedih melihat sebuah fenomena, kenyataan bahwa negeri ini, banyak dihuni manusia bermental “onde-onde”, yang kalah syok dengan pemberitaan cengengesan, dari wartawan “gagal paham” dan bodoh. Sayangnya, aku ada dipusaran kebodohan itu, punya potensi terkena dampak sindrom, mental “onde-onde” yang sama besar.
Lumaian menyedihkan, semua (kisah) ini, sangat bertolak belakang dengan pesan damai, dan semboyan kemanusiaan leluhur: mottotabian, mottotompian, bo mottotanoban. Bukankah, adalah hal yang lumrah, jika manusia adalah tempatnya salah? Jika seorang manusia bisa begitu merasa hina, hanya karna dihinakan oleh manusia pula. Maka, pada dasarnya, setinggi apa pun kedudukan seorang manusia, posisi “kemanusiaannya” dengan sendirinya, telah menempatkannya di tempat yang hina.
“Merendahlah kamu, sampai tidak ada yang mampu merendahkanmu,” sebuah pesan syarat makna, yang sering aku dengar, diajarkan pada anak usia Sekolah Dasar (SD), seolah kehilangan maknanya, bagi manusia usia dewasa. Barulah aku mengerti, mengapa Sang Yang Maha, mengatakan bahwa, membedakan baik-buruknya manusia hanyalah akhlak, dan amal baik. Jelas, bukan wajah, uang, atau kedudukan. Namun, sudahlah, lagi pula, aku tak sedang hendak, mau mengurus akhlak siapa pun.
Hanya geli saja, mengetahui ada sebuah dongeng tentang: “mempertontonkan mesra yang bodoh, seorang penyambung lidah rakyat, hendak membungkam mulut rakyatnya yang juga bodoh, dengan cara memotong ujung lidah. Konon, rakyat itu, juga seorang buruh kata.”
Tidak lucu ya?
Memang tidak. Apanya yang lucu. Kita seperti sedang menyanyikan lagu Life on Mars, saat kita tinggal di belakang Pluto.
Aku bosan di sini, aku akan segera kembali ke Bumi.
OLEH : NENO KARLINA
keren..tpi saat kata “pliss deh” saya coba berimajinasi seperti apa eksprese nona eno..xixiz
Nice
Heheheee, sebenarnya pas di bagian “plisss deh” lagi bengong, sambil ngupil tipis-tipis. Jiaaaah